Kamis, 30 Juni 2016

Kisah Nyata : Perjuangan Seorang Anak Untuk Bertahan Hidup

Diposting oleh Unknown di 23.38



" Buku ini ditulis berdasarkan kehidupan si anak pada umur 4 sampai 12 tahun "


1

TERSELAMATKAN
5 Maret 1973, Daly City, California—Aku terlambat. Aku harus menyelesaikan pekerjaan mencuci peralatan makan secepatnya, kalau tidak aku tidak dapat jatah sarapan; dan karena semalam aku tidak makan, jadi sekarang aku harus makan sesuatu. Ibu mondar-mandir sambil berteriak kepada saudara-saudara lelakiku. Aku bisa mendengar langkahlangkahnya yang berat menuju dapur. Cepat-cepat aku membilas lagi. Tapi terlambat. Ibu menarikku dengan kasar.

Plak! Ibu memukul mukaku, dan aku terjatuh. Aku tahu lebih baik aku menjatuhkan diri daripada tetap berdiri dan dipukul lagi. Kalau aku tetap berdiri, Ibu akan menganggap itu sebagai sikap membantah, dan itu artinya beberapa pukulan lagi atau, yang paling kutakutkan, tidak diberi makan. Baru kemudian aku berdiri pelan-pelan sambil memiringkan mukaku agar tidak menatapnya, sementara Ibu berteriak di telingaku.

Aku menunjukkan sikap ketakutan, sambil terus-menerus mengangguk seakan memahami arti ancaman-ancaman yang keluar dari mulutnya. "Ya, ya," kataku dalam hati, "asalkan aku boleh makan. Pukul aku lagi, asalkan aku dapat makanan karena aku harus makan." Satu pukulan lagi menyentakkan kepalaku hingga membentur pinggiran dinding. Aku meneteskan air mata sebagai tanda tak tahan menerima cemoohan Ibu.

Ibu lalu keluar dari dapur, tampaknya ia puas akan perlakuannya terhadapku. Aku menghitung langkah- langkahnya untuk memastikan bahwa ia benar-benar sudah jauh dari dapur, dan aku pun menarik napas lega. Sandiwaraku berhasil. Ibu boleh memukuliku sesuka hatinya,   tapi   aku   tak   membiarkannya   mengalahkan tekadku untuk bertahan hidup.

Kuselesaikan mencuci peralatan makan, yang menjadi salah satu tugasku sehari-hari. Sebagai upahnya, aku mendapat sarapan sisa-sisa yang ada di mangkuk sereal salah satu kakakku. Pagi ini sereal Lucky Charms. Cuma ada sedikit sisa sereal dan susu di mangkuk itu, tapi aku harus cepat-cepat menghabiskannya sebelum Ibu berubah pikiran. Itu pernah terjadi. Ibu senang sekali menggunakan makanan Sebagai senjata. Dia senang cepat-cepat membuang sisa makanan ke dalam keranjang sampah, sebab dia tahu aku akan mengais-ngaisnya untuk dimakan. Ibu tahu hampir semua siasatku.

Tak lama kemudian aku sudah berada di dalam station wagon tua kami. Karena banyak sekali tugas rumah yang harus kuselesaikan, aku jadi terburu-buru berangkat sekolah. Biasanya aku lari ke sekolah, dan sampai di sana persis pelajaran dimulai sehingga aku tak sempat mencuri makanan dari bekal makan siang anak-anak lain.

Sampai di depan sekolah, Ibu membiarkan kakak sulungku langsung masuk ke sekolah, tapi aku ditahannya dulu untuk mendengarkan rencananya besok. Dia mau mengirim aku ke rumah kakaknya. Dia bilang Paman Dan akan "mengasuhku". Itu ancaman, jadi aku pura-pura takut. Aku tahu betul pamanku itu tidak akan memperlakukan aku seperti Ibu memperlakukan aku, meskipun pamanku itu memang galak.

Station wagon belum betul-betul berhenti, tapi aku sudah menghambur keluar. Ibu berteriak, memanggilku kembali. Aku lupa membawa kotak kusam tempat bekal makan siangku, yang sudah tiga tahun ini menunya itu-itu juga, dua tangkup roti isi selai kacang ditambah beberapa potong wortel. Aku ingin langsung berlari lagi, tapi Ibu berkata, "Bilang pada mereka... Bilang pada mereka kau terantuk pintu" . Lalu ia mengatakan sesuatu yang amat jarang     ia     katakan     padaku,     "Semoga     harimu

menyenangkan". Kulihat kedua matanya yang merah. Ia masih agak mabuk, sisa semalam. Dulu matanya bagus, rambutnya sekarang acak-acakan tak terurus. Ia tidak memakai riasan wajah, seperti biasanya. Ia tahu ia gemuk. Ya, begitulah penampilan Ibu.

Karena terlambat banyak, aku harus melapor ke  ruang tata-usaha. Ibu sekretaris di ruang itu menyambutku dengan senyuman. Tak lama kemudian, perawat sekolah muncul dan mengajakku masuk ke ruang kerjanya, lalu kami melakukan hal-hal yang sudah biasa kami lakukan. Pertama, ia memeriksa muka dan lenganku.
"Bagian atas matamu kenapa?" ia bertanya.

Agak canggung, aku menunduk sambil menjawab, "Oh, itu terbentur pintu... Tidak sengaja".

Perawat sekolah itu tersenyum lagi, lalu mengambil clipboard dari atas lemari arsip. Ia membalik selembar atau dua lembar kertas, lalu menunduk dan menunjukkan padaku tulisan di halaman kertas itu. "Coba lihat ini", katanya. "Kau mengatakan hal yang sama hari Senin kemarin. Kau ingat?"

Cepat-cepat aku ganti ceritaku, "Aku sedang main bisbol, lalu pemukulnya mengenai aku. Tidak sengaja, kok". Tak sengaja. Aku harus selalu berkata begitu. Tapi perawat sekolah itu rupanya lebih tahu. Dengan caranya, ia selalu berhasil membuatku mengatakan kejadian sebenarnya. Pada akhirnya aku selalu mengaku sambil terisak, meskipun aku selalu merasa harus melindungi Ibu.

Perawat sekolah itu berkata bahwa aku akan  baik-baik saja, lalu menyuruhku membuka baju. Ini sudah kami lakukan sejak tahun lalu, jadi sekarang aku menurut saja. Lubang-lubang di baju lengan panjangku lebih banyak daripada lubang-lubang di keju Swis. Selama dua tahun ini itulah satu-satunya baju yang kupakai. Ibu menyuruhku memakai baju itu setiap hari. Begitulah caranya menghina


aku. Celana yang kupakai sama jeleknya. Sepatuku berlubang di bagian ujung depan, sampai-sampai aku bisa mengeluarkan dan menggerak-gerakkan jempol kakiku dari salah satu lubang-lubang itu. Lalu aku berdiri hanya dengan mengenakan pakaian dalam, sementara perawat sekolah mencatat luka dan memar di sekujur tubuhku pada clipboard-nya. Ia menghitung sejumlah tanda seperti garis miring di wajahku dengan saksama, jangan-jangan ada yang terlewat dan belum ia catat. Ia teliti betul.

Selanjutnya, perawat itu membuka mulutku untuk memeriksa gigi-gigiku yang patah atau copot akibat terbentur pinggiran bak pencuci piring. Ia menuliskan beberapa catatan lagi di kertas clipboard-nya. Kemudian ia memeriksa lagi seluruh tubuhku, lalu berhenti di luka sobek yang sudah lama di bagian perutku. "Yang itu," katanya dengan nada suara agak tertahan, "luka akibat tusukan oleh ibumu, bukan?"

"Ya, Bu", jawabku. "Astaga!" aku tersentak dalam hati, "aku melakukan kesalahan... lagi" .

Perawat itu tentulah menangkap kekhawatiran melalui sorot mataku. Ia meletakkan clipboard-nya, lalu memelukku.

"Aduh nyamannya," kataku dalam hati, "Ia begitu hangat". Aku tak mau melepaskannya. Aku mau seterusnya dipeluk begini. Kupejamkan mataku kuat-kuat. Rasanya begitu aman, tak terjadi apa pun. Ia mengusap kepalaku. Aku tersentak oleh rasa sakit pada luka bengkak akibat pukulan ibuku pagi tadi. Perawat itu melepaskan pelukannya dan keluar dari ruangan. Cepat-cepat aku mengenakan kembali pakaianku. Perawat itu tidak tahu bagaimana cepatnya aku mengenakan pakaian, dan aku memang selalu harus mengerjakan segala sesuatu secepat mungkin.

Tak lama kemudian perawat itu masuk kembali ke ruangan bersama  kepala  sekolah,  Mr.  Hansen,  dan  dua  orang


guruku, Miss Woods serta Mr. Ziegler. Mr. Hansen tahu siapa aku. Akulah murid di sekolah ini yang paling sering dipanggil menghadapnya. Ia mencermati kertas laporan, sementara perawat itu melaporkan secara lisan semua temuan barunya. Mr. Hansen menyentuh daguku, membuatku menengadah langsung padanya.

Aku takut melihat langsung ke matanya,  itulah kebiasaanku setiap kali berhadapan dengan Ibu. Selain itu, aku pun tidak mau memberitahukan apa-apa kepadanya. Pemah sekali, kalau tidak salah tahun lalu, Mr. Hansen memanggil Ibu untuk minta penjelasannya tentang luka- luka memar di sekujur tubuhku. Waktu itu Mr. Hansen belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. la hanya tahu bahwa aku anak bermasalah yang sering mencuri makanan. Esok harinya, saat aku masuk sekolah, Mr. Hansen melihat sendiri akibat pukulan-pukulan Ibu. Ia tidak pernah lagi memanggil Ibu ke sekolah.

Dengan suara agak keras Mr. Hansen berkata bahwa ia tidak bisa lagi menerima perlakuan Ibu terhadapku. Takut setengah mati aku mendengar ucapannya itu. "Dia mau memanggil Ibu lagi!", aku menjerit tanpa mengeluarkan suara. Aku terduduk ke lantai dan menangis. Badanku gemetar dan menggeliat-geliat tak karuan, aku mengoceh seperti bayi, memohon supaya Mr. Hansen tidak menelepon Ibu. Aku seperti anjing yang melolong sedih bercampur takut,

"Ampun. Jangan, jangan hari ini! Ini kan hari Jumat. Ibu akan memukuli aku terus sampai Senin pagi dan tidak memberiku makan..."

Mr. Hansen berjanji tidak akan memanggil Ibu, lalu ia menyuruhku masuk kelas. Sudah terlambat untuk melaporkan kehadiran dan mengisi daftar hadir di sekolah, jadi aku cepat-cepat ke kelas bahasa Inggris Mrs. Woodworth. Hari ini ada tes spelling serentak di semua negara bagian dan ibu kotanya. Aku tidak siap. Dulu aku


murid pandai, tapi sejak beberapa bulan belakangan ini aku menyerah, aku merasa tidak punya alasan lagi untuk melakukan sesuatu dalam hidup ini, termasuk mengalihkan kesedihanku pada tugas-tugas sekolah.

Begitu masuk kelas, semua murid menutup hidung dan serentak mengeluarkan suara seperti mendesah. Guru pengganti, seorang perempuan yang lebih muda daripada Mrs. Woodworth, mengibaskan tangan di depan wajahnya. Ia belum terbiasa dengan bau badanku. Ia memberikan kertas tesku sambil menjaga jarak supaya tidak terlalu dekat denganku. Belum lagi aku duduk di tempat dudukku di belakang, dekat jendela yang terbuka, aku dipanggil kembali ke ruang kepala sekolah. Semua murid di kelas itu serentak berseru "Huuuu..." ke arahku, penolakan oleh murid-murid kelas lima.

Aku lari, dan dalam sekejap sampai di ruang tata-usaha. Tenggorokanku perih akibat "permainan" yang kemarin dimainkan Ibu terhadapku. Sekretaris di ruang tata-usaha mengajakku ke ruang guru. Begitu ia membuka pintu ruang guru, sejenak aku heran akan apa yang kulihat. Di ruangan itu duduk di sekeliling sebuah meja Mr. Ziegler— yang setiap hari melakukan absensi murid, lalu Miss Moss, guru matematika, lalu perawat sekolah, Mr. Hansen, dan seorang polisi. Rasanya, kakiku tak mau digerakkan. Aku bingung, mau lari atau menunggu sampai langit-langit di ruangan itu ambruk. Mr. Hansen melambaikan tangannya, menyuruhku masuk, sementara sekretaris  tadi menutup pintu. Aku duduk di ujung meja dan langsung menjelaskan bahwa aku tidak mencuri apa-apa... hari ini. Semua yang ada di ruangan itu, yang tadinya terlihat tegang, langsung tersenyum mendengar perkataanku. Sama sekali aku tak tahu bahwa mereka akan mempertaruhkan pekerjaan mereka demi menyelamatkan diriku.

Pak polisi di ruangan itu memberitahuku mengapa Mr. Hansen memanggilnya. Rasanya badanku mengerut di kursi yang kududuki. Pak polisi meminta aku menceritakan


tentang Ibu. Aku menggeleng, tidak mau. Sudah terlalu banyak orang tahu rahasia tentang Ibu, dan aku yakin Ibu pasti akan tahu itu. Ada suara lembut yang membuatku nyaman. Rasanya itu suara Miss Moss. la menghiburku. Tidak apa-apa, katanya.

Aku menarik napas panjang. Sambil meremas-remas jemari tanganku sendiri, dengan agak segan kuceritakan juga apa saja yang pernah terjadi antara aku dan Ibu.

Perawat sekolah menyuruhku berdiri, lalu memperlihatkan luka memanjang di bagian dadaku kepada Pak Polisi. Cepat-cepat kutambahkan bahwa itu tidak disengaja, Ibu tidak pernah sengaja menusukku. Aku menangis. Kukeluarkan apa yang selama ini kupendam, bahwa Ibu menghukumku karena aku nakal. Rasanya kemudian aku ingin sendirian. Aku tak mau orang-orang itu ada di sekelilingku. Aku merasa begitu lemah. Setelah bertahun- tahun begini, aku tahu tak seorang pun bisa melakukan sesuatu yang dapat mengubah keadaanku.

Beberapa menit kemudian aku diperbolehkan duduk di luar ruang guru. Semua orang dewasa yang ada di ruangan di luar ruang guru menumdangiku dan bersikap ramah. Aku resah di tempat dudukku, karena melihat sekretaris mengetik berlembar-lembar kertas. Rasanya sangat lama, sampai akhirnya Mr. Hansen memanggilku masuk kembali ke ruang guru.

Miss Woods dan Mr. Ziegler meninggalkan ruang guru. Mereka terlihat gembira bercampur khawatir. Miss Woods berlutut di depanku dan mendekapku, seakan-akan aku terbungkus dalam dekapannya. Rasanya tak mungkin aku bisa melupakan bau wangi rambutnya. Ia melepaskan dekapannya, langsung pergi, karena ia tak ingin aku melihatnya menangis. Aku malah jadi betul-betul khawatir.

Mr. Hansen memberiku nampan berisi makan siang dari kantin.  "Astaga!  Sudah  waktunya  makan  siang  lagi?",


kataku dalam hati.

Kulahap makan siang itu begitu cepatnya sampai-sampai aku hampir tidak tahu rasanya. Kecepatan makanku pasti masuk rekor. Tak lama setelah itu, kepala sekolah masuk lagi ke ruangan, membawa sekotak kue. Ia mengingatkan supaya aku makan pelan-pelan saja. Aku tak tahu sedang ada apa ini. Salah satu dugaanku adalah ayahku, yang sudah berpisah dari Ibu, datang untuk mengambilku. Aku berkhayal. Aku tahu ayahku tak mungkin datang.

Pak Polisi menanyakan alamat dan nomor telepon rumahku. "Apa kataku, aku berkata dalam hati. "Masuk neraka lagi! Aku akan mendapat hukuman lagi dari Ibu!"

Pak Polisi masih menambahkan sesuatu pada catatannya, sementara Mr. Hansen dan perawat sekolah memperhatikan yang ditulis Pak Polisi. Tak lama kemudian Pak Polisi menutup buku catatannya dan berkata pada Mr. Hansen bahwa informasi yang ia butuhkan sudah cukup.

Aku menengadah, memandang kepala sekolahku. Wajahnya berkeringat. Aku merasakan perutku mulai mulas. Aku mau ke kamar mandi, mau muntah.

Mr. Hansen membuka pintu, lalu aku melihat guru-guru yang sedang istirahat makan siang memandangiku. Malu sekali rasanya. "Mereka tahu," kataku pada diri sendiri.

"Mereka tahu yang sebenamya mengenai Ibu; yang sebenar-benamya." Mereka perlu tahu bahwa aku bukan anak nakal. Aku kepingin sekali disukai orang, dicintai. Aku tidak mau ke aula. Mr. Ziegler menggandeng Miss Woods. Miss Woods sedang menangis. Aku mendengarnya ia terisak. Sekali lagi ia memelukku, lalu cepat-cepat melepaskannya. Mr. Ziegler menjabat tanganku. "Jadilah anak baik", katanya.

"Ya, Pak. Saya coba", cuma itu jawabanku.


Perawat sekolah berdiri diam di samping Mr. Hansen. Mereka semua  mengucapkan selamat tinggal kepadaku. Aku tahu sekarang, aku akan dimasukkan ke dalam penjara. "Baguslah", kataku dalam hati. "Paling tidak, Ibu tidak bisa memukuliku kalau aku di penjara" .

Aku dan Pak Polisi berjalan ke luar gedung, melewati kantin. Aku melihat beberapa teman sekelasku sedang bermain bola. Beberapa di antara mereka berhenti bermain, lalu berteriak-teriak, "David ditangkap! David ditangkap Pak Polisi mengusap pundakku sambil berkata padaku supaya tenang-tenang saja. Saat mobil Pak Polisi membawaku pergi meninggalkan Thomas Edison Elementary School, aku sempat melihat beberapa murid yang terbengong-bengong memandang kepergianku.

Sebelum pergi tadi, Mr. Ziegler berkata padaku bahwa ia pasti memberitahu murid-murid lain tentang yang sebenarnya yang sebenar-benarnya. Aku rela berkorban apa pun untuk berada di kelas lagi pada saat mereka tahu bahwa aku tidak seburuk dugaan orang.

Beberapa menit kemudian kami sampai di kantor polisi Daly City. Aku merasa seakan-akan Ibu ada di situ. Aku tidak mau turun dari mobil. Pak Polisi membukakan pintu dan dengan lembut menggandeng lenganku, berjalan menuju gedung kantor. Aku tidak melihat orang lain di ruang kantor itu. Pak Polisi duduk di sebuah kursi, di pojok ruangan, lalu di situ ia mengetik ! Ada beberapa lembar kertas. Aku mengawasi Pak Polisi itu terus-menerus sambil memakan kueku pelan-pelan. Kue-kue itu kumakan pelan- pelan supaya aku bisa berlama-lama menikmatinya. Aku tidak tahu kapan aku bisa makan lagi.

Jam satu siang lewat. Pak Polisi sudah selesai mengerjakan ketikannya. Sekali lagi ia menanyakan nomor telepon rumahku.

"Aku harus menelepon ibumu, David," jawabnya lembut. "Jangan!"     kataku        tegas.                      "Kembalikan          aku                     ke       sekolah. Seharusnya Bapak tahu ibuku tidak boleh tahu apa yang telah kukatakan!"

Dengan beberapa kue, Pak Polisi bisa menenangkan diriku lagi, lalu memutar nomor telepon 7-5-6-2-4-6-0. Aku memperhatikan lingkaran angka-angka di telepon itu berputar. Aku berdiri dari kursiku, berjalan mendekati Pak Polisi yang sedang memutar nomor telepon, badanku tegang ketika mencoba mendengar dering telepon di ujung sana. Ibu menjawab telepon itu. Suaranya membuatku takut. Dengan lambaian tangan,  Pak Polisi menyuruhku menjauh.

Ia mengambil napas dalam sebelum berkata, "Mrs. Pelzer, saya Opsir Smith dari kantor polisi Daly City. Anak Anda, David, tidak akan pulang ke rumah hari ini.

Ia berada dalam perlindungan San Mateo Juvenile Department. Kalau ada yang ingin Anda tanyakan, silakan hubungi departemen tersebut".

Pak Polisi meletakkan gagang telepon, lalu tersenyum. "Tidak sulit, bukan?" katanya padaku. Tapi dari raut wajahnya aku bisa bilang bahwa Pak Polisi itu sendirilah yang lebih membutuhkan kata yang menenangkan itu, bukan aku.

Beberapa kilometer kemudian, kami sudah berada di jalan raya 280, menuju batas wilayah Daly City. Aku menengok ke arah sebelah kananku dan melihat sebuah papan besar bertuliskan  "THE  MOST  BEAUTIFUL  HIGHWAY  IN  THE
WORLD". Pak Polisi tersenyum dan merasa lega saat kami melewati batas kota. "David Pelzer", katanya, "kau bebas".

"Apa?" tanyaku, sambil menggenggam erat satu-satunya simpanan makananku. "Aku tidak mengerti. Bukankah Pak Polisi mau memasukkan aku ke penjara?"

Ia tersenyum lagi, lalu dengan lembut meremas bahuku.

"Tidak, David. Kau tidak usah khawatir sama sekali, percayalah. Ibumu takkan pernah menyakitimu lagi."

Aku bersandar ke kursi mobil. Pantulan sinar matahari mengenai mataku. Aku memalingkan wajahku dari sinar itu, dan pada saat itu air mata mengalir di pipiku.

"Aku bebas?"

2
MASA-MASA BAHAGIA

Tahun-tahun sebelum aku mengalami perlakuan buruk, keluargaku adalah keluarga kulit putih ideal, layaknya kisah keluarga Brady Bunch di tahun 1960-an. Aku dan kedua saudara lelakiku dikaruniai orangtua yang sempuma. Segala kebutuhan kami selalu terpenuhi dengan rasa cinta dan perhatian.

Kami tinggal di sebuah rumah yang biasa-biasa saja, dengan dua kamar tidur, di sebuah kawasan hunian yang "baik" di Daly City. Aku ingat setiap kali memandang ke luar dari bay window, jendela tiga sisi yang dibuat agak menjorok keluar dari dinding rumah, ruang keluarga pada saat cuaca cerah, akan terlihat jelas tiang-tiang jembatan Golden Gate berwama orange dan skyline San Francisco yang cantik.

Ayahku,        Stephen     Joseph,          adalah       petugas  pemadam kebakaran. Kantomya di jantung kota San Francisco. Tinggi badannya hampir 1,8 meter, beratnya sekitar 86 kilogram. bahunya lebar dan lengannya besar, bentuk badan idaman pria   pada           umumnya.        Alis      matanya            yang         hitam      tebal sepadan      dengan                    rambutnya.  Aku            merasa       jadi        anak istimewa        ketika          ia                    memandangiku   dengan      bangga   dan memanggilku "Tiger".

lbuku, Catherine Roerva, berperawakan dan berpenampilan biasa-biasa saja. Aku tidak bisa mengingat wama mata atau rambutnya, tapi Ibu adalah perempuan yang sangat mencintai anak-anaknya. Daya hidupnya yang terbesar adalah tekadnya yang keras. Ibu selalu punya banyak gagasan, dan dialah yang selalu mengarahkan sekaligus memutuskan segala urusan keluarga. Pemah, ketika umurku empat atau lima tahun, Ibu berkata bahwa  ia sakit, dan aku ingat pada saat itu aku punya perasaan bahwa Ibu kelihatannya bukan dirinya sendiri. Hari  itu Ayah  sedang  pergi  kerja.  Setelah  menyiapkan  makan


malam, tiba-tiba Ibu meninggalkan ruang makan dan dengan tergesa-gesa  mengecat anak tangga  menuju garasi. Ia batuk-batuk saat ia dengan paniknya mengoleskan cat merah pada setiap anak tangga. Belum lagi cat itu kering, Ibu sudah memasangkan karpet karet pada anak tangga. Karpet karet dan tubuh Ibu jadi berlepotan cat merah. Setelah selesai dengan kegiatannya itu, Ibu masuk ke rumah dan langsung rebah di sofa. Aku ingat, ketika itu aku bertanya pada Ibu mengapa ia memasangkan karpet karet pada anak tangga padahal catnya belum kering. Ibu tersenyum dan menjawab, "Aku cuma ingin membuat kejutan buat Ayahmu."

Dalam urusan berbenah rumah, Ibu adalah biangnya kebersihan. Setiap kali selesai sarapan bersama kedua saudaraku, Ronald dan Stan, serta aku, Ibu selalu melancarkan segala bentuk aksi pembersihan, menebah- nebah untuk membersihkan debu, menyedot debu dengan vakum, mengelap, termasuk membersihkan kuman dengan disinfektan. Tak satu pun ruang di rumah kami bebas dari aksinya itu. Ketika anak-anaknya bertambah besar, Ibu tak pernah lupa mengajak kami dalam aksi pembersihan itu dengan mengingatkan kami untuk menjaga kebersihan serta kerapian kamar kami.

Di halaman luar, Ibu punya kebun bunga kecil yang membuat para tetangga iri sebab Ibu merawatnya dengan sangat telaten. Rasanya, apa pun yang disentuh Ibu akan berubah jadi emas. Ia tak percaya akan keberhasilan yang dicapai dengan bekerja setengah-setengah. Berkali-kali Ibu menasehati kami agar kami selalu melakukan yang terbaik, apa pun yang sedang kami kerjakan.

Ibu sungguh berbakat memasak. Menurutku, menciptakan menu masakan yang baru dan eksotis adalah hal yang paling ia nikmati di antara sekian banyak hal yang ia lakukan bagi keluarga. Apalagi setiap Ayah ada di rumah, Ibu pasti membuktikan bakat memasaknya itu, ia menggunakan waktunya yang paling pas untuk memasak


menu ciptaannya yang lezat. Pada hari-hari ketika Ayah bertugas, biasanya Ibu mengajak kami berjalan-jalan menikmati keramaian kota. Pada suatu hari ia mengajak kami ke Chinatown di San Francisco. Sambil berkendaraan berkeliling wilayah itu, Ibu bercerita mengenai kebiasaan serta sejarah orang-orang Cina. Sesampai di rumah, Ibu memutar musik berirama Cina yang indah. Lalu ia menciptakan suasana berbau Cina di ruang makan, antara lain dengan memasang beberapa Lampion. Malam hari itu ia mengenakan kimono dan menyajikan masakan  yang bagi kami kelihatannya agak aneh namun ternyata lezat rasanya. Di akhir makan malam hari itu Ibu memberi kami kue keberuntungan dan membacakan tulisan yang ada di bungkus kue itu. Waktu itu aku merasa bahwa pesan yang ada di kue-kue itu pasti menuntunku ke masa depanku.

Beberapa tahun kemudian, ketika aku pandai membaca dan mengerti yang aku baca, aku menemukan salah satu bungkus kue yang dulu tulisannya dibacakan Ibu untukku. Tulisan itu berbunyi, "Cintai dan hormati Ibumu, sebab dialah buah yang memberimu kehidupan".

Dulu kami punya banyak binatang peliharaan, ada kucing, anjing, ikan di dalam akuarium, dan seekor kura-kura bernama "Thor". Aku paling ingat kura-kura itu sebab Ibu membolehkanku untuk memberinya nama. Aku merasa bangga sebab kedua saudaraku sudah dibolehkan memberi nama kepada binatang-binatang peliharaan kami yang lain, dan aku pun mendapat giliran untuk memberi nama. Nama Thor aku ambil dari nama tokoh kartun kesukaanku.

Beberapa akuarium dengan ukuran berbeda ada di hampir semua ruangan rumah kami. Di ruang keluarga saja paling tidak ada dua, lalu satu lagi yang berisi ikan gupi ditaruh di kamar kami. Ibu sungguh kreatif. Ia menghiasi semua akuarium dengan batu-batuan warna-warni, sehingga akuarium itu tampak seperti rumah ikan sungguhan. Sering kami duduk di sekeliling akuarium sambil mendengarkan Ibu menjelaskan berbagai jenis ikan.


Pelajaran paling mengagumkan yang diberikan oleh Ibu terjadi pada suatu hari Minggu sore. Salah satu kucing kami bertingkah aneh waktu itu. Ibu menyuruh kami duduk di dekat kucing itu, sementara ia menjelaskan proses melahirkan. Setelah semua anak kucing dilahirkan dengan selamat, Ibu lalu menjelaskan dengan sangat teliti betapa ajaibnya kehidupan ini. Dalam suasana keluarga yang bagaimanapun, Ibu, dengan caranya sendiri, memberi kami pelajaran yang sangat berguna, sekalipun kami hampir tidak pernah menyadari bahwa kami sedang diberi pengetahuan.

Selama masa bahagia itu, keluarga kami selalu memulai musim liburan sejak Halloween. Pada suatu malam musim gugur di bulan Oktober, saat bulan pumama, Ibu cepat- cepat mengajak kami keluar rumah untuk mengamati "Buah Labu Raksasa" di langit. Ketika kami kembali naik ke tempat tidur, Ibu menyuruh kami mengintip ke bawah bantal kami masing-masing, dan situ kami menemukan mobil balap mainan Matchbox. Aku dan saudara lelakiku serentak bersorak girang, sementara wajah Ibu menampakkan rasa puas.

Sehari setelah Thanks-giving, Ibu selalu masuk ke ruangan bawah, lalu naik lagi dengan membawa sejumlah kardus besar berisi beragam hiasan Natal. Dengan bantuan tangga, Ibu menggantungkan untaian-untaian hiasan pada kayu-kayu di langit-langit rumah. Setelah Ibu selesai dengan kesibukannya itu, setiap ruang di rumah kami menjadi penuh dengan suasana liburan. Di ruang makan Ibu menata letak lilin-lilin merah berbagai ukuran. Butiran- butiran salju jatuh dan menumpuk, membentuk berbagai pola yang menambah cantik setiap jendela di ruang keluarga dan ruang makan. Untaian lampu-lampu Natal ikut menghiasi jendela-jendela kamar tidur kami. Setiap malam aku jatuh tertidur saat memandangi warna-warni lampu Natal yang berkelap-kelip lembut.

Tinggi  pohon  Natal  kami  tidak  pemah  kurang  dari  duasetengah meter, dan semua anggota keluarga meluangkan waktu seharian untuk menghiasinya. Setiap tahun, salah satu di antara kami memperoleh kehormatan menaruh hiasan malaikat di puncak pohon Natal itu, sementara Ayah mengangkat badan kami dengan tangannya yang kuat.

Setelah selesai menghias pohon Natal dan makan malam, kami masuk ke station wagon kami dan duduk berdesak- desakan dengan riang gembira, lalu berkeliling di sekitar perumahan untuk melihat-lihat dekorasi Natal yang menghiasi rumah-rumah tetangga kami. Pada saat seperti itu Ibu berulang kali mengucapkan keinginannya untuk memiliki segala sesuatu yang lebih besar dan lebih bagus pada Natal tahun berikutnya, sekalipun kedua kakakku dan aku yakin bahwa hiasan Natal di rumah kami selalu yang paling bagus. Sampai di rumah kembali, Ibu mendudukkan kami dekat perapian untuk menikmati egg nog.

Selama ia menceritakan kepada kami beberapa kisah, stereo set di rumah kami memutar lagu "White Christmas" yang dinyanyikan Bing Crosby. Aku begitu gembira selama musim liburan sehingga rasanya tidak mau tidur. Kadang kala Ibu menggendong aku agar tidur. Sebelum terlelap, suara yang kudengar hanyalah kayu yang meretih terbakar di perapian.

Hari Natal semakin dekat. Aku dan kedua saudaraku semakin riang gembira. Tumpukan hadiah di bawah pohon Natal semakin hari semakin tinggi. Ketika hari Natal tiba, kami masing-masing mendapat banyak hadiah.


Pada malam Natal, setelah menyantap makan malam yang istimewa dan menyanyikan beberapa lagu Natal, kami diizinkan membuka satu saja hadiah yang kami terima. Setelah itu kami disuruh tidur. Di tempat tidur, aku selalu memasang telinga dengan harapan bisa mendengar suara bel-bel kereta es Santa. Tetapi aku selalu terlelap sebelum sempat mendengar suara rusa kutub penarik kereta es Santa mendarat di atap rumah.

Sebelum fajar, Ibu berjingkat-jingkat masuk kamar dan membangunkan kami sambil berbisik, "Bangun, Santa datang!" Pemah pada suatu Natal, Ibu memberi kami masing-masing sebuah topi plastik Tonka berwama kuning, lalu menyuruh kami berbaris menuju ruang keluarga. Kami tak sabar menyobeki kertas warna-warni agar bisa membuka kotak untuk akhimya menemukan bermacam- macam mainan baru.

Setelah itu Ibu menyuruh kami, yang sudah mengenakan jubah kamar yang baru, ke halaman belakang untuk memandangi pohon Natal kami yang tampak besar dari balik jendela. Tahun itu, saat berdiri di halaman belakang itu, aku ingat melihat Ibu menangis. Aku bertanya pada Ibu, mengapa ia bersedih. Ibu menjawab bahwa ia menangis karena ia merasa begitu bahagia memiliki keluarga yang sesungguhnya.

Karena pekerjaan Ayah sering menuntutnya untuk bekerja 24 jam, Ibu sering mengajak kami seharian berkeliling ke tempat-tempat yang tidak jauh seperti Golden Gate Park di San Francisco. Saat berkeliling taman itu, Ibu menjelaskan mengapa daerah-daerah itu sedemikian berbeda dengan daerah-daerah lain, dan sering juga Ibu mengungkapkan keinginannya untuk memiliki bunga-bunga yang cantik di situ.

Taman Steinhart Aquarium selalu kami kunjungi paling akhir. Aku dan kedua saudaraku senang sekali menaiki anak-anak tangga yang ada di situ dan mendorong sekuat tenaga pintu-pintunya yang berat. Kami merasa amat gembira saat sampai di bagian atas, lalu bersandar pada pagar penyangga dari kuningan yang dibuat berbentuk kuda laut, dan jauh di bawah sana kami bisa melihat kolam dengan air terjun kecil yang dijadikan tempat tinggal bagi beberapa aligator dan kura-kura besar.

Sebagai anak kecil, inilah tempat yang paling kusukai di taman ini. Pemah aku merasa takut karena aku berandai-andai terlolos dari pagar penyangga itu lalu jatuh ke kolam. Walaupun tidak berkata apa-apa, aku yakin Ibu merasakan ketakutanku itu. Ia melihat padaku, lalu menggenggam tanganku dengan lembut, dan itu membuatku merasa aman.

Bagi kami, musim semi berarti piknik. Malam hari menjelang piknik esok harinya, Ibu selalu menyiapkan bekal makanan istimewa yang terdiri dari ayam goreng, salad, roti isi, dan makanan penutup. Pagi-pagi sekali kami sekeluarga berangkat ke Junipero Serra Pak. Sesampai di sana aku dan kedua kakakku berlarian dengan amat girang, sebebas-bebasnya, di hamparan rumput yang luas. Lalu kami bermain ayunan, berayun-ayun setinggi mungkin. Kadang kala kami mengambil risiko memasuki tempat-tempat yang belum pemah kami jelajahi di taman itu. Kalau kami sudah bermain-main seperti itu, Ibu selalu kesulitan mencari-cari serta menggiring kami untuk makan siang. Sambil bermain, aku memperhatikan orangtuaku yang tampak bahagia. Mereka berbaring bersisian di atas tikar, meneguk anggur merah, sambil memperhatikan kami bermain.

Liburan keluarga setiap musim panas selalu membuatku tegang karena rasa girang. Ibulah yang selalu menentukan semua acara yang akan kami lakukan pada setiap liburan musim panas. Segala sesuatunya ia rencanakan dengan matang, dan ia selalu puas karena semua acara yang ia rancang sukses. Yang biasa menjadi tempat tujuan liburan musim panas kami adalah Portola atau Memorial Park. Di sana kami berkemah sekitar satu minggu. Kemah kami sangat besar dan berwarna hijau. Di seluruh dunia, tempat yang paling aku senangi adalah Russian River, setiap kali Ayah mengajak kami bermobil ke arah utara, menyeberangi jembatan Golden Gate, aku tahu kami sedang menuju tempat favoritku itu.

Perjalanan ke sungai itu yang paling mengesankan bagiku terjadi saat aku masih di taman kanak-kanak. Pada hari

terakhir sekolah menjelang liburan, Ibu meminta kepala sekolah untuk mengizinkan aku pulang lebih awal. Begitu kudengar bunyi klakson mobil ayahku, aku berlari sangat kencang mendaki sebuah bukit kecil, lalu turun menuju mobil kami yang sudah menunggu di situ. Aku gembira sekali sebab aku tahu tujuan kami ke mana. Dalam perjalanan itu aku sangat takjub melihat hamparan ladang anggur yang seakan tak habis-habisnya. Saat kendaraan kami memasuki kota Guerneville yang sunyi, kuturunkan kaca jendela agar aku bisa menghirup udara yang dipenuhi aroma pepohonan redwood yang tumbuh di sana.

Setiap hari adalah petualangan baru. Sepanjang hari, kami bertiga mengenakan sepatu bot khusus untuk memanjat sisa sebatang pohon tua besar yang mati karena terbakar, atau berenang di sungai di Johnson's Beach. Biasanya kami meninggalkan kabin pukul sembilan pagi, dan kembali setelah jam tiga sore. Ibu mengajar kami berenang  di ceruk kecil di sungai itu. Pada liburan musim panas itu Ibu mengajariku berenang gaya punggung. Ketika aku menunjukkan bahwa aku bisa melakukannya, Ibu tampak sangat senang.

Selama liburan itu setiap hari rasanya menakjubkan. Suatu hari, setelah makan malam, Ibu dan Ayah mengajak kami bertiga menikmati saat-saat matahari terbenam. Kami berlima bergandengan tangan saat melewati kabin Mr. Parker, menuju ke sungai. Air sungai itu yang berwarna hijau tampak selicin kaca. Kawanan burung bluejay, sejenis gagak, beterbangan angin kepakan sayap-sayap mereka terasa di rambutku.

Tanpa berkata-kata, kami berdiri menyaksikan matahari yang bagaikan bola api sedikit demi sedikit tenggelam di balik pepohonan yang tinggi, meninggalkan alur-alur tipis berwarna biru terang bercampur jingga tua di langit. Terasa ada yang merangkul bahuku. Aku mengira itu ayahku. Aku menoleh, lalu diam-diam merasa bangga, ternyata Ibulah yang merangkulku dengan eratnya. Aku bisa merasakan detak jantungnya. Itulah satu-satunya saat dalam hidupku ketika aku merasa begitu aman dan begitu hangat, di Russian River.

3
ANAK NAKAL


Hubunganku dengan Ibu berubah  drastis,  dari tempaan disiplin menjadi hukuman yang semakin membabi-buta. Kadangkala hukuman itu sedemikian menyakitkan sampai- sampai aku harus merangkak untuk menghindarinya, bahkan aku bisa menyebutnya sebagai menyelamatkan hidupku.

Sebagai anak kecil, suaraku mungkin terdengar lebih keras dibandingkan anak-anak kecil lainnya. Tampaknya aku juga selalu bemasib sial, selalu ketahuan bersikap nakal, sekalipun aku dan kedua saudaraku sering sama-sama mengaku melakukan "kejahatan" yang sama.

Pada awalnya, aku disuruh berdiri atau jongkok di pojok kamar tidur kami. Pada saat itulah aku mulai takut terhadap Ibu. Sangat takut. Aku pemah aku meminta Ibu agar aku boleh keluar kamar. Aku akan diam dalam posisi dan tempat yang sama, menunggu sampai salah seorang saudaraku masuk ke kamar tidur kami dan bertanya pada Ibu apakah David sudah boleh keluar dan ikut main bersama.

Mulai saat itulah sikap Ibu berubah drastis. Kadang kala, saat Ayah sedang bekerja, Ibu menghabiskan waktunya seharian tiduran di kursi menonton acara televisi, masih mengenakan jubah mandi. la hanya akan beranjak dari kursi kalau mau ke kamar mandi, menambah minumannya lagi, atau memanaskan sisa makanan. Saat berteriak kepada kami, suaranya berubah dari suara seorang Ibu yang lembut menjadi suara seorang perempuan penyihir yang jahat. Dalam waktu singkat suara Ibu menjadi suara yang sangat menakutkan bagiku. Bahkan kalau Ibu berteriak memarahi salah seorang saudaraku, aku akan berlari ke kamar untuk bersembunyi, sambil berharap Ibu cepat-cepat kembali lagi ke kursinya, ke minumannya, dan ke acara televisinya. Sejenak, aku bisa tahu  apa  yang bakal aku alami pada suatu hari dari pakaian yang Ibu kenakan. Aku bisa bemapas lega pada hari ketika kulihat Ibu keluar dari kamarnya mengenakan pakaian yang menawan dan mengenakan make up. Pada hari-hari demikian, Ibu akan tersenyum sepanjang hari.

Ketika Ibu memutuskan bahwa "hukuman pojok kamar" tidak lagi mempan, "hukuman cermin" lalu dikenakan pada diriku. Mulanya, wajahku ditempelkan dan ditekan pada kaca cermin, lalu wajahku yang basah oleh air mata digesek-gesekkan pada permukaan kaca cermin yang licin dan memantulkan wajahku. Kemudian Ibu memaksaku untuk berkata, "Aku anak nakal! Aku anak nakal! Aku anak nakal!" berulang-ulang.

Kemudian aku dipaksa berdiri, disuruh melihat ke cermin. Aku berdiri tegang, dengan kedua tangan masing-masing di setiap sisi. Berulang kali aku mencuri pandang ke luar kamar, menanti dengan sangat ketakutan saat siaran iklan kedua ditayangkan di televisi. Aku tahu persis, bahwa pada saat itulah akan kudengar langkah-langkah kaki Ibu yang bergegas menuju kamar untuk memeriksa apakah aku masih memandang ke arah cermin, lalu ia akan berkata padaku betapa aku adalah anak yang memuakkan. Setiap kali saudara-saudaraku masuk ke kamar saat aku mendapat "hukuman cermin", mereka memandang ke arahku, mengangkat bahu sedikit, lalu meneruskan permainan mereka seolah-olah aku tidak di situ. Mulanya sikap mereka itu membuatku iri, namun aku segera paham bahwa itu mereka lakukan semata-mata demi menyelamatkan diri mereka sendiri.

Ketika Ayah di tempat kerja, Ibu sering berteriak-teriak memaksa aku dan kedua saudaraku mencari di seluruh pelosok rumah sesuatu miliknya yang hilang. Biasanya pencarian seperti itu dimulai pagi hari, sampai berjam-jam kemudian. Tidak lama setelah pencarian dimulai, biasanya aku  disuruh  melakukan  pencarian  di   garasi,   sebuah ruangan di bagian hawah rumah, semacam basement. Saat berada di ruang bawah pun, aku tetap ketakutan setiap kali mendengar Ibu herteriak ke salah satu saudaraku.

Demikianlah selama berbulan-bulan, pencarian seperti berlanjut, sampai akhimya cuma aku sendirilah yang di- suruh mencari barangnya yang hilang, barang apa saja. Pernah, aku lupa barang apa yang mesti aku cari. Ketika dengan amat ketakutan aku bertanya pada Ibu barang apa yang harus aku cari, wajahku malah dipukul. Itu dilakukan Ibu sambil tetap rebahan di kursi, bahkan ia tidak mengalihkan perhatiannya dari acara televisi. Darah mengalir dari hidungku, dan aku mulai menangis. Ibu menyambar serbet dari meja, menyobeknya, lalu menggosok-gosokkannya ke hidungku.

"Kau tahu persis apa yang harus kau cari!" bentaknya. "Cari! Sekarang!"

Tergopoh-gopoh aku turun kembali ke basement, membuat suara cukup keras untuk meyakinkan Ibu bahwa aku betul-betul mematuhi perintahnya sesegera mungkin. Ketika perintah Ibu "cari ini, cari itu" menjadi semakin biasa terjadi, aku mulai berkhayal bahwa aku telah menemukan barang Ibu yang hilang. Aku berkhayal, dengan dada membusung aku muncul dari basement sementara kedua tanganku membawa barang berharga yang begitu dicari-cari, lalu Ibu menyambutku dengan pelukan serta ciuman. Bukan cuma itu. Aku juga berkhayal keluarga kami hidup bahagia setelah itu. Kenyataannya, aku tak pernah menemukan satu pun barang Ibu yang hilang, dan ia membuatku takkan pernah lupa bahwa aku adalah anak gagal yang tak bisa apa-apa.

Sebagai anak kecil, aku menyadari sikap Ibu bisa sangat berlawanan, seperti siang dan malam, saat Ayah ada di rumah. Kalau Ibu menata rambutnya dan mengenakan pakaian bagus, ia kelihatan lebih santai. Aku menyukai hal itu saat Ayah di rumah. Itu berarti  tidak ada pukulan,  hukuman cermin, atau pencarian barang-barang Ibu yang hilang selama berjam-jam. Ayah menjadi pelindungku. Kapan pun Ayah pergi ke garasi untuk melakukan apa saja yang ingin ia kerjakan, aku mengikutinya. Saat ia duduk di kursi kesukaannya untuk membaca koran, aku berada di dekatnya. Sehabis makan malam, setelah piring dan gelas disingkirkan dari meja makan, Ayah akan mencucinya, aku yang mengeringkannya. Aku tahu selama aku berada di dekatnya tak akan ada yang menyakitiku.

Suatu hari, sebelum Ayah berangkat kerja, aku menerima kejutan yang menakutkan. Setelah mengucapkan selamat tinggal kepada Ron dan Stan, Ayah berlutut, memegang erat bahuku dan berpesan padaku agar aku menjadi "anak baik". Ibu berdiri di belakangnya, berlipat tangan, dan di wajahnya ada senyuman tipis. Aku memandang mata Ayah dan langsung tahu bahwa aku adalah "anak nakal". Ada rasa menggigil tiba-tiba menjalari seluruh tubuhku. Ingin rasanya aku menahan Ayah agar tidak pergi ke mana- mana selamanya. Namun sebelum aku sempat memeluknya, Ayah berdiri, berbalik dan keluar, tanpa berkata apa-apa lagi.

Selama waktu yang singkat sejak peringatan Ayah itu, suasana antara aku dan Ibu tampaknya tenang-tenang saja. Kalau Ayah sedang di rumah, aku dan kedua saudaraku bermain di kamar kami atau di pekarangan, sampai sekitar jam tiga sore. Pada jam itu biasanya Ibu menyetel televisi sehingga kami bisa nonton film kartun. Bagi orangtuaku, jam tiga sore berarti "Happy Hour". Di meja dapur Ayah menaruh berbotol-botol minuman beralkohol beserta gelas-gelasnya yang cantik. la memotong lemon dan lime, menaruhnya di beberapa mangkuk kecil di samping mangkuk yang berisi buah-buah cherry. Sering kali orangtuaku minum-minum sejak sore menjelang matahari terbenam sampai aku dan kedua kakakku naik ke tempat tidur. Aku ingat memperhatikan mereka berdansa di dapur diiringi musik dari radio-mereka berpelukan, tampaknya begitu bahagia. Aku mengira aku bisa membuang masa sengsaraku. Aku keliru. Masa sengsaraku itu baru awal dari sesuatu yang lebih hebat lagi.

Satu atau dua bulan kemudian, pada hari Minggu, saat Ayah sedang bekerja, aku dan kedua kakakku sedang bermain di kamar kami ketika kami mendengar langkah- langkah Ibu yang berat dan tergesa-gesa, dan berteriak kepada kami ber-tiga. Ron dan Stan langsung berlari menyelamatkan diri ke ruang keluarga, sedangkan aku langsung duduk di kursiku.

Dengan kedua tangannya terentang dan terangkat, Ibu langsung mendatangiku. Ibu semakin dekat dan semakin dekat, sementara  aku memundurkan kursiku sampai mepet ke tembok, sehingga kepalaku menempel  di tembok. Mata Ibu berkilat dan merah, napasnya berbau minuman keras. Aku menutup mataku begitu pukulan Ibu bertubi-tubi menghantamku dari kiri kanan. Kucoba menggunakan tangan untuk melindungi wajahku, tapi Ibu dengan mudah menyingkirkannya. Pukulannya kurasakan seakan tak akan pernah berhenti. Akhirnya kulingkarkan lengan kiriku untuk menutupi wajahku.

Saat Ibu berusaha menarik lenganku, ia kehilangan keseimbangan dan terhuyung ke belakang, sementara tangannya masih mencengkeram lengan kiriku. Ibu berusaha agar tidak jatuh sehingga lengan kiriku tertarik keras.

Saat itulah kudengar suara gemeretak, lalu aku merasa sangat kesakitan pada bahu dan lenganku. Ibu tampak tertegun, dan dari raut wajahnya aku tahu bahwa ia pun mendengar bunyi yang kudengar.

Namun, ia begitu saja melepaskan cengkeramannya dari lengan kiriku, berbalik, lalu pergi begitu saja seakan tidak terjadi apa-apa. Perlahan-lahan kucoba menggerakkan lengan  kiriku.  Rasa  sakitnya  tak  tertahankan.  Belum sempat aku tahu persis apa yang terjadi dengan lengan kiriku, Ibu sudah memanggil untuk makan malam.

Langkahku terasa berat, berpegangan pada rak TV, mencoba untuk makan. Ketika mau mengambil gelas susu, lengan kiriku tak bisa digerakkan sama sekali. Tanpa diperintah, jemariku bergerak-gerak sendiri, sementara lenganku lunglai seakan mati. Aku memandang Ibu, mencoba meminta perhatiannya melalui mataku. Ia mengabaikanku.

Aku tahu ada sesuatu yang betul-betul tidak beres, tapi aku terlalu takut untuk mengeluarkan suara. Jadi, aku duduk saja di situ, memandangi makananku. Akhirnya Ibu membolehkan aku mundur dari meja makan dan menyuruhku tidur lebih awal, sekaligus menyuruhku untuk tidur di kasur atas. Itu di luar kebiasaan karena biasanya aku tidur di kasur bawah. Menjelang pagi baru aku bisa tidur, dengan tangan kananku "menjagai"  lengan kiriku yang sakit.

Belum lagi lama tidurku, Ibu membangunkan aku, lalu menjelaskan bahwa aku tidur terlalu ke pinggir sehingga jatuh dari kasur atas di malam hari. Kelihatannya ia begitu prihatin akan keadaanku, sebab ia membawaku ke rumah sakit. Ketika Ibu menceritakan peristiwa jatuhnya aku dari kasur atas kepada dokter yang memeriksaku, dari pandangan mata sang dokter aku berpendapat dokter itu tahu bahwa sakitku itu bukan karena kecelakaan. Dan aku lagi-lagi tidak berani berkata apa-apa.

Di rumah, ketika menceritakan peristiwa itu kepada Ayah, bualan Ibu semakin hebat. Dalam bualannya yang semakin hebat itu, Ibu menambahkan usahanya untuk menangkap badanku sebelum menyentuh lantai. Saat aku duduk di pangkuan Ibu sambil mendengarkan ia menceritakan bualannya yang semakin hebat itu kepada Ayah, aku berkesimpulan bahwa ibuku "sakit". Rasa takut dalam dirikulah yang menjadikan peristiwa yang sebenamya tetap
rahasia di antara Ibu dan aku. Aku tahu kalau kuceritakan rahasia itu kepada orang lain, "kecelakaan" berikutnya pasti lebih parah.

Bagiku, sekolah adalah kesempatanku untuk bersenang senang. Aku bersuka-cita bisa berada jauh dari Ibu. Saat istirahat, aku bagai orang liar. Sekencang mungkin aku berlari ke tempat bermain, mencari-cari permainan baru yang menantang. Aku mudah bergaul, betapa senangnya aku di sekolah. Suatu hari di akhir musim semi, saat aku pulang dari sekolah, Ibu menyeretku ke kamar tidumya. Dengan berteriak ia berkata padaku bahwa aku harus tinggal kelas karena aku anak nakal. Aku tak mengerti. Hasil ulanganku selalu lebih bagus daripada teman-teman lain sekelas. Aku menurut pada ibu guru dan aku merasa ia menyukaiku. Tetapi Ibu tetap berkeras bahwa aku telah mempermalukan keluarga dan harus dihukum berat. Ibu melarang aku menonton televisi selamanya. Aku tidak diberi makan malam dan harus mengerjakan pekerjaan apa pun yang muncul di kepala Ibu. Setelah menerima pukulan-pukulan sebagai hukuman, aku disuruh turun ke garasi, berdiri di sana sampai Ibu memanggil untuk tidur.

Pada musim panas tahun itu, dalam perjalanan menuju tempat berkemah, tanpa tanda-tanda sebelumnya, aku ditinggal di rumah Bibi Josie. Tak seorang pun memberitahuku mengenai hal itu, dan aku pun tak tahu alasannya. Saat menyaksikan station wagon kami pergi meninggalkanku, aku merasa sendirian dan terusir. Aku sedih dan merasa hampa. Aku berusaha lari dari rumah bibiku. Aku ingin mencari keluargaku, dan, karena alasan yang agak ganjil, aku ingin bersama Ibu. Usahaku melarikan diri gagal, dan laporan mengenai usahaku itu disampaikan oleh Bibi kepada Ibu. Saat Ayah mendapat giliran kerja, aku harus membayar dosaku itu. Ibu menampar, menonjok, dan menendangku sampai aku merangkak di lantai. Aku mencoba mengatakan kepada Ibu bahwa aku melarikan diri karena aku ingin bersamanya dan keluarga. Aku mencoba mengatakan padanya bahwa

aku merindukannya, tapi Ibu tidak mengizinkan aku berbicara. Aku mencoba mengatakannya sekali lagi, tapi Ibu bergegas ke kamar mandi, mengambil sebatang sabun, lalu menjejalkannya ke mulutku. Setelah itu, aku tidak lagi boleh berbicara kecuali disuruh untuk berbicara.

Masuk kembali ke kelas satu sungguh menyenangkan. Aku menguasai semua pelajarannya, sehingga dengan  cepat aku dikenal sebagai murid yang pandai. Karena kelasku diturunkan, Stan dan aku setingkat. Saat istirahat, aku menghampiri Stan di kelasnya, lalu mengajaknya bermain. Di sekolah, kami berdua adalah sahabat; tetapi di rumah, kami berdua tahu bahwa aku harus dianggap tidak ada.

Suatu        hari
aku
bergegas
masuk        rumah         untuk
memamerkan
hasil
ulanganku.
Ibu    malah     menyeretku
masuk kamarnya, sambil membentak-bentak tentang sebuah surat yang ia terima dari Kutub Utara. Katanya, surat itu menyebutkan bahwa aku adalah "anak nakal" dan Santa tidak akan memberiku hadiah pada hari Natal.

Terus-menerus Ibu mengomel, katanya aku lagi-lagi membuat malu keluarga. Aku berdiri dalam kebingungan, sementara Ibu tak henti-hentinya menuding-nudingku. Rasanya aku hidup dalam mimpi buruk yang diciptakan Ibu, dan aku berdoa agar Ibu terbangun. Sehari sebelum Natal tahun itu hanya ada dua bungkus hadiah untukku di bawah pohon Natal, dari saudara jauh. Pagi hari Natal Stan memberanikan diri bertanya pada Ibu mengapa Santa hanya membawa dua bungkus hadiah mainan menggambar untukku. Dengan gaya seorang guru, Ibu menjelaskan kepada Stan bahwa "Santa hanya membawa hadiah bagi anak-anak lelaki dan perempuan yang baik".

Aku mencuri pandang ke arah Stan. Matanya menunjukkan rasa sedih, dan aku yakin bahwa ia tahu akal-akalan Ibu yang ganjil. Karena masih harus menjalani hukuman, pada hari Natal aku tetap diharuskan mengerjakan bermacam- macam  pekerjaan  rumah  dengan  pakaian  yang  biasa kupakai kerja. Sewaktu membersihkan kamar mandi, aku mendengar Ibu dan Ayah bertengkar. Ibu marah kepada Ayah karena Ayah "diam-diam tanpa sepengetahuan Ibu" membelikan mainan untukku. Ibu berkata kepada Ayah bahwa dialah yang berwenang mendisiplinkan "anak itu", dan bahwa Ayah telah menggerogoti kekuasaan Ibu dengan membelikan hadiah untukku. Semakin panjang Ayah menjelaskan maksudnya, semakin marah Ibu. Aku yakin Ayah kalah, maka aku pun semakin sendirian.

Beberapa bulan kemudian Ibu ditunjuk menjadi pembimbing Pramuka Siaga. Setiap kali anak-anak Pramuka Siaga datang ke rumah kami, Ibu memperlakukan mereka seperti raja. Beberapa dari anak- anak itu berkata padaku betapa inginnya mereka punya Ibu seperti Ibuku. Aku tak pernah menanggapinya. Aku hanya bertanya-tanya dalam hati apa kira-kira pendapat mereka bila mengetahui yang sebenarnya tentang Ibu.

Hanya beberapa bulan saja Ibu menjabat sebagai pembimbing. Betapa lega aku ketika Ibu menyerahkan jabatan itu, sebab itu berarti aku bisa datang ke rumah anak-anak lain dalam rapat setiap hari Rabu.

Pada suatu hari Rabu sepulang sekolah, aku mengganti pakaianku dengan seragam Pramuka. Pada saat itu hanya Anak Nakal 39
Ibu dan aku yang ada di rumah, dan dari raut wajahnya aku tahu Ibu sedang "kumat". Setelah membenturkan wajahku ke cermin di kamar, Ibu mencengkeram lenganku dan menyeretku ke mobil. Dalam perjalanan ke rumah ibu pembimbing pramuka, Ibu memberitahuku apa yang akan ia lakukan terhadapku sesampai kami di rumah. Saking takutnya, aku menjauhkan diriku dari Ibu ke pojok kursi depan mobil, tapi sia-sia. Ibu menggapaikan tangannya lalu menyentakkan daguku, mengangkat kepalaku sampai wajahku menghadap wajahnya. Matanya merah dan suaranya mirip suara orang kerasukan. Ketika kami sampai di rumah ibu pembimbing pramuka, aku berlari ke pintu rumahnya sambil menangis. Sambil tersedu aku berkata kepada ibu itu bahwa aku telah berlaku nakal sehingga tidak diizinkan mengikuti pertemuan Pramuka hari itu. Ibu pembimbing itu tersenyum ramah, sambil berkata bahwa ia berharap aku bisa datang ke pertemuan Rabu berikutnya. Dan itulah terakhir kali aku bertemu dengannya.

Begitu sampai di rumah Ibu langsung menyuruhku membuka baju dan berdiri di dekat kompor di dapur. Aku menggeleng karena rasa takut bercampur malu. Kemudian Ibu membuka "kejahatan" yang telah kulakukan. Ibu berkata bahwa sering kali ia merasa terdorong pergi ke sekolah untuk menyaksikan aku dan saudara-saudaraku bermain pada jam istirahat makan siang. Ibu mengaku melihat aku pada hari itu bermain di rumput, dan itu dilarang keras oleh peraturan yang ia buat. Cepat-cepat aku menjawab bahwa aku tidak pemah bermain di rumput. Bagaimanapun aku tahu bahwa Ibu keliru. Sebagai imbalan atas pelanggaran yang kulakukan terhadap peraturannya dan mengatakan yang sesungguhnya adalah sebuah pukulan keras di wajahku.

Kemudian Ibu menyalakan api kompor, sambil berkata bahwa ia pernah membaca sebuah artikel tentang seorang ibu yang menaruh anak lelakinya di atas kompor yang menyala. Aku langsung merasa ngeri. Otakku tak bekerja, aku merasa limbung. Ingin rasanya aku menghilang. Kupejamkan mataku, sambil berharap Ibu pergi. Otakku sama sekali mampet ketika aku merasakan  tangan Ibu memiting lenganku, sebuah cengkeraman yang amat kuat.

"Kau membuat  hidupku seperti di neraka!" katanya mencemooh. "Kini saatnya kutunjukkan padamu apa itu neraka!"

Dengan mencengkeram kuat lenganku, Ibu meletakkannya di atas api yang berwarna biru-jingga. Akibat panasnya api, aku merasa kulitku merekah. Tercium olehku bulu- bulu lenganku yang terbakar. Sehebat apa pun perlawanan yang kuberikan, aku tak mampu melepaskan lenganku dari cengkeraman Ibu. Akhirnya aku jatuh ke lantai, di atas tangan dan lututku, sambil mencoba meniupkan udara dingin ke lenganku yang terbakar.

"Sayang sekali ayahmu yang pemabuk itu tidak di rumah sehingga tidak bisa menyelamatkanmu", desisnya.

Kemudian Ibu menyuruhku naik ke atas kompor dan berbaring di atas api sehingga ia bisa menyaksikan tubuhku terbakar. Aku menolak, sambil menangis dan mengiba-iba. Aku begitu ketakutan sampai-sampai kuentak-entakkan kakiku sebagai tanda protes. Tetapi Ibu tetap memaksaku untuk naik ke atas kompor. Kutatap api kompor, sambil berdoa agar api itu mati karena kehabisan gas.

Tiba-tiba aku sadar  bahwa semakin lama  aku bisa mengelakkan paksaan untuk berbaring di atas api kompor, semakin besar peluangku untuk tetap hidup. Aku tahu sebentar lagi kakakku, Ron, pulang dari pertemuan Pramuka, dan aku tahu Ibu tidak akan pemah berlaku ganjil seperti ini kalau ada orang lain di rumah. Aku harus memperpanjang waktu agar bisa bertahan hidup. Kulirik jam pada dinding dapur di belakangku. Jarum panjangnya terasa bergerak lamban sekali. Agar perhatian Ibu terpecah, aku mulai bertanya secara lembut. Kelakuanku itu membuat Ibu bertambah murka, dan ia mulai menghujani pukulan ke kepala serta dadaku. Semakin membabi-buta Ibu memukuliku, semakin aku sadar bahwa aku menang! Apa pun boleh, asal jangan dibakar di atas kompor.

Akhimya kudengar pintu depan dibuka orang. Ron pulang. Betapa lega aku. Darah yang menjalari urat-urat wajah Ibu menyurut. Ia tahu ia kalah. Untuk sejenak, Ibu berdiri kaku. Kumanfaatkan saat yang sempit itu untuk menyambar bajuku lalu berlari cepat ke basement di situ aku cepat-cepat mengenakan kembali bajuku. Aku berdiri bersandar ke dinding. Aku terisak, namun segera kusadari bahwa aku telah mengalahkan Ibu. Aku telah berhasil mengulur waktu yang sangat berharga. Aku telah menggunakan otakku untuk bertahan hidup. Untuk pertama kalinya aku menang!

Saat berdiri sendirian di basement yang gelap dan lembab itu, untuk pertama kalinya kusadari bahwa aku mampu bertahan hidup. Sejak saat itu kuputuskan untuk menggunakan taktik apa pun yang sempat terlintas dalam pikiran untuk mengalahkan Ibu atau menunda obsesinya yang liar.

Aku sadar bila aku ingin tetap hidup, aku harus berpikir ke de-pan. Tak mungkin lagi aku menangis seperti bayi yang tak berdaya. Agar tetap hidup, aku tak pernah boleh menyerah. Hari itu aku bersumpah pada diriku sendiri bahwa aku tak akan pemah lagi satu kali pun memberi perempuan jahat itu kepuasan menikmati suaraku yang memohonnya untuk berhenti memukuliku.

Dalam suasana dingin di basement itu, seluruh tubuhku menggigil karena rasa marah sekaligus karena rasa takut yang amat sangat. Kujilati luka bakarku agar rasa sakit di lenganku berkurang. Ingin rasanya aku berteriak, tapi aku berkeras hati untuk tidak memberi Ibu kenikmatan mendengarkan tangisku. Aku berdiri tegar. Bisa kudengar Ibu berkata kepada Ron bahwa betapa bangganya ia terhadap Ron, dan betapa ia tidak perlu khawatir sama sekali bahwa Ron akan menjadi seperti David, si  anak nakal.



0 komentar:

Posting Komentar

 

Wulan Febriyanti Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea