Selasa, 26 April 2016

Golput pada Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta tahun 2012

Diposting oleh Unknown di 03.45
BAB I
PENDAHULUAN


1.1       Latar Belakang

5 tahun sekali. Kegiatan ini merupakan  salah satu saran penyampaian  aspirasi rakyat yang paling efektif dalam melakukan  perubahan  yang lebih baik untuk negara.  Pemilu  merupakan  tanda  demokrasi  yang harus  didukung  oleh semua rakyat sebagai tanda keterlibatan dan antusiasme dalam membangun negara dan memiliki sistem pemerintahan dan politik yang lebih baik dari yang sebelumnya.

Indonesia merupakan negara yang demokratis, maka itu aspirasi rakyat merupakan  komponen  utama  dalam  pembangunan  negara.  Keterlibatan masyarakat  dalam  kegiatan  pemilu  tidak  hanya  dilihat  dari  keikutsertaannya dalam memberikan suara, tetapi masyarakat juga harus terlibat dalam proses pengawasan pemilihan calon kandidat sampai dengan mengawasi penghitungan suara pemilihan agar terciptanya sistem pemilihan yang transparan dan bebas dari manipulasi beberapa pihak yang tidak diinginkan. Sayangnya,  saat ini semakin banyak  masyarakat  yang  kurang  peduli  terhadap  keterlibatan  mereka  dalam pemilu. Masyarakat cenderung tidak memberikan suaranya atau yang biasa kita dengar dengan golput (golongan putih) dalam pemilu yang dimana golput merupakan salah satu tanda ketidakikutsertaan mereka dalam kegiatan politik di dalam negaranya sendiri.

Ketidakpercayaan masyarakat terhadap parpol atau kandidat dalam pemilihan tentunya ada penyebabnya. Umumnya masyarakat merasa bahwa kandidat yang dicalonkan  pada pemilihan  dianggap  tidak mampu  menjalani  tugas yang akan diemban, tidak memiliki pemikiran yang sejalan dengan masyarakat bahkan bagi para kandidat yang telah dicalonkan dalam pemilihan sebelumnya dianggap telah melanggar janji dalam kampanyenya yang lalu. Hal ini memberikan potensi bagi masyarakat untuk melakukan golput dalam pemilihan.

 Hal   tersebut   dapat   ditangani   dengan   penyampaian   informasi   melalu kampanye  kandidat.  Keikutsertaan  masyarakat  dalam  pemilu  tentu tidak luput dari informasi-informasi mengenai kandidat pemilihan yang akan dipilih. Masyarakat akan mengolah informasi yang didapat dengan proses pengambilan keputusan   yang  nantinya   akan  mempengaruhi   perilaku   pengambilan   suara mereka (voting behavior).

Masyarakat yang sama sekali tidak menggunakan hak politik nya benar-benar masih di rasakan keberadaan nya. Misalnya golput terbanyak pada pilkada kemarin adalah di Jakarta Selatan dengan presentase mencapai sebesar 30%. Perhitungan ini berdasarkan hasil quick count yang di lakukan oleh pihak Puskaptis (Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis) dengan sampel 440 TPS yang ada di Jakarta.

            Dalam demokrasi, masyarakat sangat di tuntut dalam hal kesadaran partisipasi politik nya. Karena kesadaran berdemokrasi adalah langkah awal pembentukan demokrasi yang baik dan benar. Momen sederhana yang bisa di gunakan untuk berpartisipasi politik adalah pilkada. Momen ini juga di anggap sebagai pembelajaran masyarakat untuk berdemokrasi yaitu dengan memilih pemimpin sesuai hati nurani mereka. Masyarakat sangatlah perlu di didik kesadaran berdemokrasi nya agar asas demokrasi dapat berjalan lancar dan momentum politik seperti pilkada dapat maksimal partisipasi dari masyarakat nya.

1.2       Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka penulis membuat beberapa rumusan
masalah sebagai berikut.
1. Mengapa golput terjadi dalam Pilkada DKI 2012?
2. Bagaimana Pandangan Mahasiswa Terhadap Golput?
3. Apakah penyebab menurunya partisipasi politik masyarakat Jakarta dalam pilkada putaran     pertama dan adakah faktor yang mempengaruhinya?




BAB II
KERANGKA TEORI ATAU KERANGKA KONSEP


Verba dan Nie (1972) mendefinisikan partisipasi politik sebagai “berbagai aktivitas yang dilakukan individu-individu warga negara yang kurang lebih secara langsung bertujuan untuk mempengaruhi pemilihan aparat pemerintahan dan/atau aksi yang mereka ambil”.
Brady (1999) , partisipasi politik mencakup empat konsep dasar : aktivitas atau aksi, warga negara biasa, politik dan pengaruh. “Aksi” atau “Aktivitas” dalam partisipasi politik merupakan sesuatu yang dilakukan oleh seseorang. Hal itu bukan hanya pemikiran, perilaku atau kecenderungan. Partisipasi politik bukan sekedar aksi, melainkan aksi oleh warga negara biasa, bukan elite pemerintah. Aksi oleh pemerintah bersifat politis, tetapi bukan merupakan partisipasi politik.
(Verba, Schlozman, dan Brady; 1995: 38-9) Aktivitas dalam perkumpulan sosial seperti kerja sosial di gereja, klub olahraga, dan klub budaya tidaklah bersifat politis, sebab ia tidak di arahkan untuk mempengaruhi kebijakan atau aktivitas pemerintah, walaupun mempengaruhi suatu aksi politik seseorang. Partisipasi politik adalah adalah tindakan sukarela, yang berarti bahwa para pesertanya tidak di paksa untuk melakukan nya dan tidak di bayar.
Rousseau, hanya melalui partisipasi seluruh warga negara dalam kehidupan politik secara langsung dan bekelanjutan, maka negara dapat terikat ke dalam tujuan kebaikan sebagai kehendak bersama.
(Saiful Mujani; 1995: 15-16).Setidaknya ada tiga alasan mengapa orang tidak mengambil bagian dalam partisipasi politik. Ada tiga jawaban yaitu : karena mereka tidak mampu, karena mereka tidak mau, dan karena tidak ada yang meminta. “Tidak bisa” menunjukkan kurangnya sumber-sumber yang di perlukan-waktu untuk ambil bagian, uang untuk di sumbangkan dalam kampanye dan kegiatan politik lain, dan keterampilan untuk menggunakan uang dan waktu secara efektif. “Tidak mau” memusatkan perhatian pada ketiadaan keterlibatan politik-kecilnya minat terhadap politik dan kecilnya kepedulian terhadap masalah publik, kecilnya atau tidak adanya pengetahuan mengenai proses politik atau prioritas lain. “Tidak ada yang meminta” mengimplikasikan seseorang dari jaringan rekrutmen di mana warga negara di mobillisasi ke dalam arena politik.
Theodorson dalam Mardikanto, 1994) mengemukakan bahwa dalam pengertian sehari-hari, partisipasi merupakan keikutsertaan atau keterlibatan seseorang (individu atau warga masyarakat) dalam suatu kegiatan tertentu. Keikutsertaan atau keterlibatan yang dimaksud disini bukanlah bersifat pasif tetapi secara aktif ditujukan oleh yang bersangkutan. Oleh karena itu, partisipasi akan lebih tepat diartikan sebagikeikutsertaan seseorang didalam suatu kelompok sosial untuk mengambil bagian dalam kegiatan masyarakatnya, di luar pekerjaan atau profesinya sendiri.
Dalam konteks ini, salah satu bentuk partisipasi politik adalah pilkada. Masih banyaknya masyarakat yang masih belum melek politik menjadikan salah satu turun atau kurang nya partisipasi masyarakat dalam berpolitik. Mengacu pada pendapat Saiful Mujani tentang alasan mengapa orang tidak mengambil bagian dalam partisipasi politik, “Tidak mau”, yaitu memusatkan perhatian pada ketiadaan keterlibatan politik-kecilnya minat terhadap politik dan kecilnya kepedulian terhadap masalah publik, kecilnya atau tidak adanya pengetahuan mengenai proses politik atau prioritas lain, masih ada beberapa masyarakat yang masih belum tahu kandidat kepala daerah nya, lalu apa keuntungan yang akan di dapat dari kandidat, serta siapa saja tokoh-tokoh masyarakat yang berafiliasi dengan si calon kepala daerah itu.
                        Budiardjo (1996:183) memaknai partisipasi politik adalah: “Kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan Negara dan secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan Pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan pejabat Pemerintah atau anggota parlemen, dan sebagainya”.

            Partisipasi politik adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, teroraganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau melalui kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif. (By political participan we mean activity by private citizens designed to influence government decision making. Participan may be individual or collective, organized or spontaneous, sustained or sporadic, peacefulk or violence, legal or illegal, effective or ineffective).[1] Anggota masyarakat yang berpartisipasi dalam proses politik, misalnya melalui pemberian suara atau kegiatan lain, terdorong oleh keyakinan bahwa melalui kegiatan bersama itu kepentingan mereka akan tersalur atau sekurang-kurangnya di perhatikan, dan bahwa mereka sedikit banyak dapat memengaruhi tindakan dari mereka yang berwenang untuk membuat keputusan tanpa paksaan atau tekanan dari siapapun.

            Ada beberapa kegiatan yang di maksud sebagai partisipasi politik. Partisipasi politik berupa kegiatan atau perilaku luar individu warga negara yang dapat di amati, bukan perilaku dalam yang yang berupa sikap dan orientasi. Kegiatan di arahkan untuk mempengaruhi pemerintah selaku pembuat dan pelaksana keputusan politik. Kegiatan yang berhasil maupun yang gagal mempengaruhi pemerintah termasuk dalam konsep partisipasi politik. Kegiatan mempengaruhi pemerintah dapat di lakukan secara langsung ataupun secara tidak langsung. Kegiatan yang langsung berarti individu mempengaruhi pemerintah tanpa menggunakan perantara, sedangkan secara tidak langsung berarti mempengaruhi pemerintah melalui pihak lain yang di anggap dapat meyakinkan pemerintah.  Keduanya termasuk dalam kategori partisipasi politik. Kegiatan mempengaruhi pemerintah dapat dilakukan melalui prosedur yang wajar (konvensional) dan tak berupa kekerasan (non violence) seperti ikut memilih dalam pemilihan umum atau pilkada, mengajukan petisi, melakukan kontak tatap muka dan menulis surat, maupun dengan cara-cara di luar prosedur yang yang wajar (tak konvensional) dan berupa kekerasan (violence), seperti demonstrasi (unjuk rasa), masyarakat ini pembangkangan halus (seperti lebih memilih kotak kosong daripada memilih calon yang di sodorkan pemerintah), huru-hara, mogok, pembangkangan sipil, serangan bersenjata, dan gerakan-gerakan politik seperti kudeta dan revolusi.

masyarakat –dalam kedudukan mereka sebagai pengambil keputusan politik tidak dapat dinamakan partisipasi politik. Kegiatan itu hanya dapat disebut sebagai kegiatan politik saja. Jadi partisipasi politik mengandung adanya sasaran yang dituju, yaitu proses pembuatan keputusan politik: partisipan bertujuan untuk mempengaruhi keputusan politik yang akan di ambil agar keputusan itu menguntungkannya atau, paling tidak, tidak merugikannya.



BAB III
PEMBAHASAN


3.1       Mengapa golput terjadi dalam Pilkada DKI 201

Hal  ini dibuktikan  dari Lembaga  Survei  Indonesia  pada  tahun  2012  yang menyatakan  bahwa  angka  golput  berada  di  kisaran  37%.  Presentase  tersebut meningkat 2% dibandingkan pilkada sebelumnya (Angka Pemilih Golput Hampir 40%, 2012). Wilayah yang paling tinggi angka golputnya adalah Jakarta Timur dengan  total pemilih 1.996.745  orang,  718.225  orang tidak menggunakan  hak pilihnya.  Jumlah  penduduk  yang  tidak  memilih  di  Jakarta  Utara  berjumla 461.518  dari daftar pemilih tetap yang berjumlah  1.162.153  penduduk.  Kedua daerah tersebut merupakan daerah dengan jumlah golput sendiri (Angka pemilih golput hampir 40%, 2012). Walau belum ditentukan apa penyebabnya, namun fenomena golput ini dapat disebabkan karena banyak hal, seperti, liburan, sakit, KTP ganda (Angka pemilih golput hampir 40%, 2012) dan dapat juga disebabkan oleh kesalah teknis administrasi antar departemen seperti proses pendaftaran yang berantakan, pemanipulasian data pemilih, dll. (Subanda, 2009).

Hal lain yang dapat mendukung terjadinya golput adalah ketidak mauan masyarakat untuk terlibat dalam politik. Sebagian besar masyarakat hanya memikirkan bagaimana untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka tanpa memikirkan  apa yang terjadi pada sistem politik, padahal, sistem politik juga berpengaruh kepada sistem ekonomi bangsa. Golput juga dinilai sebagai ideologi atau hak azasi dengan alasan masyarakat kapok  karena  parpol  yang  ada  dianggap  tidak  berkompetensi  dan  melanggar janji  yang  telah  dijanjikan  (Subanda,  2009).  Bagaimanapun,  sebagai  warga Negara yang baik seharusnya kita menggunakan kesempatan ini dengan sebaik- baiknya.  Karena kesempatan  ini berguna  untuk membangun  Negara  kita agar lebih baik lagi dan dengan  adanya  informasi  yang telah disampaikan  melalui kampanye yang telah dilakukan oleh para kandidat. Pemilu merupakan sarana dimana  kita  sebagai  warga  dapat  memiliki  kemampuan  untuk  merubah  dan memiliki rasa kewargaan.

Golput merupakan salah satu sifat apatis terhadap politik karena tidak memberikan suara dalam pemilihan merupakan salah satu ketidak terlibatan individu dalam kegiatan politik negaranya  sendiri. Apatis adalah sifat ketidak acuhan dimana individu kehilangan  minat atau ketertarikan terhadap beberapa aspek  emosional,  social  dan  bahkan  fisikal.  Individu  dapat  dikatakan  apatis apabila  ia memiliki  kurangnya  kesadaran,  kepedulian,  dan  tidak  adanya  rasa tanggung jawab. Sehingga itu individu cenderung melakukan golput apabila mereka sudah bersifat apatis terhadap politik.


3.2       Bagaimana Pandangan Mahasiswa Terhadap Golput?

Sifat apatisme ini lebih sering ditemukan di kalangan remaja dibandingkan di kalangan orang dewasa. Di dalam penelitiannya, dalam penelitiannya mengenai apatisme   politik   pada   anak   muda   di   Spanyol,    Garcia-Albacete    (2006) mengatakan  bahwa anak muda memiliki  tingkat  ketidakpercayaan  yang tinggi terhadap  sistem pemerintahan  yang ada. Mereka juga kurang tertarik terhadap politik dan pengetahuan mengenai politik juga kurang sehingga mereka enggan mencari  tahu  mengenai  informasi  politik  dan  berpartisipasi  dalam  pemilihan. Selain itu, anak muda merasa kesulitan untuk masuk dan berpartisipasi  dalam dunia politik bila dihubungkan  dengan gaya hidup yang modern dan pekerjaan mereka.  Anak  muda  lebih  tertarik  kepada  aksi  politik  yang  lebih  modern, contohnya,  menjadi  aktivis  isu-isu  social,  seperti  larangan  penebangan  pohon secara liar, perlindungan hewan yang hampir punah, dll
Disamping   sifat   apatisme   yang   dialami   oleh   anak   muda,   keberadaan merekapun kurang dilibatkan oleh pihak politisi itu sendiri karena mereka merasa bahwa anak muda masih belum memiliki pandangan  yang stabil untuk perduli terhadap politik (Quinteller, 2007).

Dewasa kini, mahasiswa semakin apatis terhadap isu politik yang terjadi saat ini. Salah satu contohnya adalah ketidak terlibatannya mahasiswa dalam pemilu. Seperti yang telah dihimbau oleh ketua KPU Husni Kamil Malik agar mahasiswa menekan angka golput untuk pemilu tahun 2014. Karena menurutnya, mahasiswa yang  berjumlah  4.273.000  merupakan  jumlah  yang  sangat  besar  dan  cukup dahsyat untuk melakukan perubahan sosial di tengah-tengah masyarakat (Tekan angka  golput  tinggi,  KPU  minta  mahasiswa  aktif  pemilu,  2013).  Selain  itu, menurut Dr. Muhammad Uhaib As’ad, mahasiswa cenderung bersikap apatis dan apolitis dalam pemilu tahun 2009 dalam penjelasannya di Seminar Nasional "Polemik Golput di Era Demokrasi Dalam Perspektif Islam". Beliau juga mengemukakan bahwa fatwa MUI mengenai bahwa golput itu haram tidak berpengaruh dalam menekan angka golput, terutama pada mahasiswa karena mahasiswa sudah tidak percaya lagi erhadap partai politik yang ada (Mahasiswa cenderung golput dalam pemilu 2009, 2009).

3.3  Apakah penyebab menurunya partisipasi politik masyarakat Jakarta dalam pilkada putaran pertama dan adakah faktor yang mempengaruhinya?

Banyak hal-hal yang menjadi penyebab mengapa warga negara tidak ikut serta dalam partisipasi politik. Jika partisipasi politik adalah adalah tindakan sukarela, yang berarti bahwa para pesertanya tidak di paksa untuk melakukan nya dan tidak di bayar, saat ini masih saja di temukan kegiatan politik seperti kampanya yang oleh kandidat masih menggunakan cara money politic. Kegiatan perpolitikan di Indonesia masih tidak bisa di jauhkan oleh kegiatan money politic. Masyarakat belum bisa memilih secara rasional dan cerdas sehingga mudah tergiur oleh uang. Faktor yang menjadi pengaruh terhadap tinggi-rendah nya tingkat partisipasi politik di antara nya adalah kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah (sistem politik).

Golput karena masalah teknis, di karenakan Daftar Pemilih Tetap (DPT) karena kesalahan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang amburadul dalam pendataan calon-calon pemilih menyebabkan masyarakat tidak terdaftar dalam DPT ini. Permasalah DPT ini sudah merupakan permasalahan yang lazim terjadi di tiap-tiap momentum politik seperti ini. Permasalahan ini seakan-akan tidak mempunyai solusi, tentu ini sangat berakibat pada rendahnya partisipasi pemilih.

Partisipasi juga di pengaruhi oleh kepentingan individual itu sendiri. Banyak pemilih yang sudah terdaftar tetapi tidak hadir di hari pilkada tersebut karena kepentingan individu yang di anggap lebih penting. Misalnya dalam hal ekonomi, biasanya yang mendahulukan kepentingan individu terlebih dahulu ini adalah golongan rakyat kecil yang bekerja oada sektor informal, dimana penghasilan nya sangat bergantung pada tingkat intensitas ia bekerja. Oleh karena itu masyarakat golongan seperti ini akan merasa rugi jika meninggalkan pekerjaan mereka. Misalnya adalah pergi kerja ke pabrik bagi para buruh

Masyarakat yang bersifat apatis. Mereka sadar mempunyai hak pilih, tetapi tidak menggunakan hak pilih nya. Biasanya sikap apatis ini timbul karena pandangan mereka yang meyakini bahwa para calon tidak mempunyai kesanggupan untuk mewujudkan harapan mereka. Mereka tidak percaya dengan pemerintah dan  calon yang ada. Mereka juga bingung terhadap calon pemimpinnya, mereka belum mengetahui atau mengenali calon nya. Para calon juga di nilai kurang memaparkan program-program nya dengan jelas.

Alasan lainnya adalah ada nya rasa bosan masyarakat terhadap politik, mereka merasa bosan terhdap janji-janji yang muluk dari para calon serta bosan karena sudah seringnya momentum pilkada tetapi tidak memberikan perubahan sama sekali terhadap daerahnya. Alasan ini biasanya di anut oleh golongan masyarakat yang sudah tidak percaya lagi dengan sistem atau pemerintah nya.
Sikap abstain atau tidak ikut berpartisipasi dalam proses politik pasti selalu terjadi dalam proses demokrasi.  Tetapi jika sikap abstain ini di biarkan terus menerus tentulah akan berakibat besar pada kemajuan demokrasi kita.  Besarnya tingkatan golput pada pilkada harus di sikapi secara arif. Kita juga tidak boleh serta merta menyalahkan rakyat karena golput, karena siapa tahu saja letak kesalahannya ada pada pemerintah itu sendiri.
Untuk mengantisipasi tingginya angka golongan putih dalam pilkada kedua, Ketua Pokja Sosialisasi Pemungutan dan Penghitungan Suara KPU Provinsi DKI Jakarta, Sumarno, mengingatkan pentingnya partisipasi aktif masyarakat dalam Pilkada DKI Jakarta. Partisipasi aktif ini diwujudkan dengan mendatangi TPS pada 20 September dan menggunakan hak suara dengan memilih pasangan cagub dan cawagub yang diyakini mampu memimpin DKI Jakarta. Liburan jangan di jadikan alasan untuk tidak datang ke TPS, justru liburan seharusnya di jadikan kesempatan untuk masyarakat pergi ke TPS. Sumarno juga menjelaskan negara Indonesia menganut sistem demokrasi yang sehingga peran masyarakat sangat penting dalam mengawal berbagai kebijakan dan menentukan para pemimpinnya. Pandangan berlibur lebih penting daripada memiliha dalah pemikiran yang salah. Dalam pendidikan kewarganegaraan sudah di ketahui bahwa pemerintahan Indonesia dalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Itu berarti, jika kita ikut memilih, kita mewakilkan kedaulatan kita kepada orang yang kita percayai. Partisipasi pemilih pemula, seperti anak-anak SMA, dalam menentukan pemimpin DKI Jakarta pun dinilai sangat penting. Sumarno menilai pemilih pemula ini bersikap kritis dan jumlahnya cukup signifikan.  Kontribusi mereka akan memberikan hal positif untuk pilkada kali ini. Untuk itu, Sumarno berharap para calon pemilih tersebut tidak menjadi golput atau mengabaikan hak pilihnya.


BAB IV
 KESIMPULAN

Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta tahun 2012 ini bukan sekedar ajang artifisial dalam mewujudkan kedaulatan rakyat. Pemilu Gubernur dan Wakil
Gubernur merupakan bagian yang sangat penting dari transformasi politik menuju konsolidasi demokrasi Warga Jakarta, yang berujung pada terbentuknya pemerintahan daerah yang representatif, efektif, dan pro-rakyat. Oleh karena itu berkualitas atau tidaknya Pemilu Gubernur dan Wakil gubernur sangat bergantung pada Warga Jakarta itu sendiri. Bila Warga Jakarta mempunyai partisipasi kritis bukan saja pada Pemilu Gubernur dan Wakil gubernur, tetapi pada setiap segi kehidupan berbangsa dan bernegara, maka kekuatan Warga Jakarta ini akan mampu meningkatkan kualitas peradaban yang luhur ke arah peradaban Indonesia yang lebih baik.
Partisipasi politik masyarakat di Jakarta meliputi kegiatan kampanye dan pemberian suara. Bentuk partisipasi yang paling dominan adalah voting, melalui pilkada. Tingginya tingkat penurunan partisipasi politik masyarakat Jakarta dalam pilkada putaran pertama ini antara lain di sebabkan oleh faktor masalah teknis, kepentingan individu (misal dalam hal ekonomi), sifat apatisme masyarakat, rasa bosan terhadap politik dan alasan tidak berada di tempat.
Bisa di simpulkan juga bahwa pemberian suara (voting) dimana tingginya penurunan tingkat partisipasi politik masyarakat Jakarta di pengaruhi oleh tingkat pekerjaan. Masyarakat dengan status pekerjaan lebih tinggi cenderung lebih tinggi tingkat partisipasinya dibandingkan masyarakat dengan status pekerjaan yang lebih rendah. Sebagai contoh seorang buruh yang bekerja di pabrik lebih mementingkan kegiatan ekonomi nya daripada ikut memilih karena kalau ia meninggalkan pekerjaan nya, ia tidak mendapatkan upah.


DAFTAR PUSTAKA


Samuel P Huntington dan Joan M. Nelson, No Easy Choice : Political Participation in Developing Countries (Cambridge, Mass: Harvard University Press, 1977)

0 komentar:

Posting Komentar

 

Wulan Febriyanti Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea