BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
5
tahun sekali. Kegiatan ini merupakan
salah satu saran penyampaian
aspirasi rakyat yang paling efektif dalam melakukan perubahan
yang lebih baik untuk negara.
Pemilu merupakan tanda
demokrasi yang harus didukung
oleh semua rakyat sebagai tanda keterlibatan dan antusiasme dalam
membangun negara dan memiliki sistem pemerintahan dan politik yang lebih baik
dari yang sebelumnya.
Indonesia
merupakan negara yang demokratis, maka itu aspirasi rakyat merupakan komponen
utama dalam pembangunan
negara. Keterlibatan
masyarakat dalam kegiatan
pemilu tidak hanya
dilihat dari keikutsertaannya dalam memberikan suara,
tetapi masyarakat juga harus terlibat dalam proses pengawasan pemilihan calon
kandidat sampai dengan mengawasi penghitungan suara pemilihan agar terciptanya
sistem pemilihan yang transparan dan bebas dari manipulasi beberapa pihak yang
tidak diinginkan. Sayangnya, saat ini
semakin banyak masyarakat yang
kurang peduli terhadap
keterlibatan mereka dalam pemilu. Masyarakat cenderung tidak
memberikan suaranya atau yang biasa kita dengar dengan golput (golongan putih)
dalam pemilu yang dimana golput merupakan salah satu tanda ketidakikutsertaan
mereka dalam kegiatan politik di dalam negaranya sendiri.
Ketidakpercayaan
masyarakat terhadap parpol atau kandidat dalam pemilihan tentunya ada
penyebabnya. Umumnya masyarakat merasa bahwa kandidat yang dicalonkan pada pemilihan dianggap
tidak mampu menjalani tugas yang akan diemban, tidak memiliki
pemikiran yang sejalan dengan masyarakat bahkan bagi para kandidat yang telah
dicalonkan dalam pemilihan sebelumnya dianggap telah melanggar janji dalam
kampanyenya yang lalu. Hal ini memberikan potensi bagi masyarakat untuk
melakukan golput dalam pemilihan.
Hal
tersebut dapat ditangani
dengan penyampaian informasi
melalu kampanye kandidat. Keikutsertaan
masyarakat dalam pemilu
tentu tidak luput dari informasi-informasi mengenai kandidat pemilihan yang
akan dipilih. Masyarakat akan mengolah informasi yang didapat dengan proses
pengambilan keputusan yang nantinya
akan mempengaruhi perilaku
pengambilan suara mereka (voting
behavior).
Masyarakat yang sama sekali tidak menggunakan
hak politik nya benar-benar masih di rasakan keberadaan nya. Misalnya golput
terbanyak pada pilkada kemarin adalah di Jakarta Selatan dengan presentase
mencapai sebesar 30%. Perhitungan ini berdasarkan hasil quick count yang di
lakukan oleh pihak Puskaptis (Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis)
dengan sampel 440 TPS yang ada di Jakarta.
Dalam
demokrasi, masyarakat sangat di tuntut dalam hal kesadaran partisipasi politik
nya. Karena kesadaran berdemokrasi adalah langkah awal pembentukan demokrasi
yang baik dan benar. Momen sederhana yang bisa di gunakan untuk berpartisipasi
politik adalah pilkada. Momen ini juga di anggap sebagai pembelajaran
masyarakat untuk berdemokrasi yaitu dengan memilih pemimpin sesuai hati nurani
mereka. Masyarakat sangatlah perlu di didik kesadaran berdemokrasi nya agar
asas demokrasi dapat berjalan lancar dan momentum politik seperti pilkada dapat
maksimal partisipasi dari masyarakat nya.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka penulis
membuat beberapa rumusan
masalah sebagai berikut.
1. Mengapa
golput terjadi dalam Pilkada DKI 2012?
2. Bagaimana Pandangan
Mahasiswa Terhadap Golput?
3. Apakah penyebab
menurunya partisipasi politik masyarakat Jakarta dalam pilkada putaran pertama dan adakah faktor yang mempengaruhinya?
BAB II
KERANGKA TEORI ATAU KERANGKA KONSEP
Verba
dan Nie (1972) mendefinisikan partisipasi politik sebagai “berbagai aktivitas
yang dilakukan individu-individu warga negara yang kurang lebih secara langsung
bertujuan untuk mempengaruhi pemilihan aparat pemerintahan dan/atau aksi yang
mereka ambil”.
Brady
(1999) , partisipasi politik mencakup empat konsep dasar : aktivitas atau aksi,
warga negara biasa, politik dan pengaruh. “Aksi” atau “Aktivitas” dalam
partisipasi politik merupakan sesuatu yang dilakukan oleh seseorang. Hal itu
bukan hanya pemikiran, perilaku atau kecenderungan. Partisipasi politik bukan
sekedar aksi, melainkan aksi oleh warga negara biasa, bukan elite pemerintah.
Aksi oleh pemerintah bersifat politis, tetapi bukan merupakan partisipasi
politik.
(Verba,
Schlozman, dan Brady; 1995: 38-9) Aktivitas dalam perkumpulan sosial seperti
kerja sosial di gereja, klub olahraga, dan klub budaya tidaklah bersifat
politis, sebab ia tidak di arahkan untuk mempengaruhi kebijakan atau aktivitas
pemerintah, walaupun mempengaruhi suatu aksi politik seseorang. Partisipasi
politik adalah adalah tindakan sukarela, yang berarti bahwa para pesertanya
tidak di paksa untuk melakukan nya dan tidak di bayar.
Rousseau, hanya
melalui partisipasi seluruh warga negara dalam kehidupan politik secara
langsung dan bekelanjutan, maka negara dapat terikat ke dalam tujuan kebaikan
sebagai kehendak bersama.
(Saiful
Mujani; 1995: 15-16).Setidaknya ada tiga alasan mengapa orang tidak mengambil
bagian dalam partisipasi politik. Ada tiga jawaban yaitu : karena mereka tidak
mampu, karena mereka tidak mau, dan karena tidak ada yang meminta. “Tidak bisa”
menunjukkan kurangnya sumber-sumber yang di perlukan-waktu untuk ambil bagian,
uang untuk di sumbangkan dalam kampanye dan kegiatan politik lain, dan
keterampilan untuk menggunakan uang dan waktu secara efektif. “Tidak mau”
memusatkan perhatian pada ketiadaan keterlibatan politik-kecilnya minat
terhadap politik dan kecilnya kepedulian terhadap masalah publik, kecilnya atau
tidak adanya pengetahuan mengenai proses politik atau prioritas lain. “Tidak
ada yang meminta” mengimplikasikan seseorang dari jaringan rekrutmen di mana
warga negara di mobillisasi ke dalam arena politik.
Theodorson dalam Mardikanto, 1994) mengemukakan
bahwa dalam pengertian sehari-hari, partisipasi merupakan keikutsertaan atau
keterlibatan seseorang (individu atau warga masyarakat) dalam suatu kegiatan
tertentu. Keikutsertaan atau keterlibatan yang dimaksud disini bukanlah
bersifat pasif tetapi secara aktif ditujukan oleh yang bersangkutan. Oleh
karena itu, partisipasi akan lebih tepat diartikan sebagikeikutsertaan seseorang didalam suatu kelompok
sosial untuk mengambil bagian dalam kegiatan masyarakatnya, di luar pekerjaan
atau profesinya sendiri.
Dalam
konteks ini, salah satu bentuk partisipasi politik adalah pilkada. Masih
banyaknya masyarakat yang masih belum melek politik menjadikan salah satu turun
atau kurang nya partisipasi masyarakat dalam berpolitik. Mengacu pada pendapat
Saiful Mujani tentang alasan mengapa orang tidak mengambil bagian dalam
partisipasi politik, “Tidak mau”, yaitu memusatkan perhatian pada ketiadaan
keterlibatan politik-kecilnya minat terhadap politik dan kecilnya kepedulian
terhadap masalah publik, kecilnya atau tidak adanya pengetahuan mengenai proses
politik atau prioritas lain, masih ada beberapa masyarakat yang masih belum
tahu kandidat kepala daerah nya, lalu apa keuntungan yang akan di dapat dari
kandidat, serta siapa saja tokoh-tokoh masyarakat yang berafiliasi dengan si
calon kepala daerah itu.
Budiardjo
(1996:183) memaknai partisipasi politik adalah: “Kegiatan seseorang atau
kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu
dengan jalan memilih pimpinan Negara dan secara langsung atau tidak langsung,
mempengaruhi kebijakan Pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup
tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum menghadiri rapat umum,
menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan
(contacting) dengan pejabat Pemerintah atau anggota parlemen, dan sebagainya”.
Partisipasi
politik adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang
dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi
bisa bersifat individual atau kolektif, teroraganisir atau spontan, mantap atau
sporadis, secara damai atau melalui kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau
tidak efektif. (By political participan
we mean activity by private citizens designed to influence government decision
making. Participan may be individual or collective, organized or spontaneous,
sustained or sporadic, peacefulk or violence, legal or illegal, effective or
ineffective).[1] Anggota
masyarakat yang berpartisipasi dalam proses politik, misalnya melalui pemberian
suara atau kegiatan lain, terdorong oleh keyakinan bahwa melalui kegiatan
bersama itu kepentingan mereka akan tersalur atau sekurang-kurangnya di
perhatikan, dan bahwa mereka sedikit banyak dapat memengaruhi tindakan dari
mereka yang berwenang untuk membuat keputusan tanpa paksaan atau tekanan dari
siapapun.
Ada
beberapa kegiatan yang di maksud sebagai partisipasi politik. Partisipasi
politik berupa kegiatan atau perilaku luar individu warga negara yang dapat di
amati, bukan perilaku dalam yang yang berupa sikap dan orientasi. Kegiatan di
arahkan untuk mempengaruhi pemerintah selaku pembuat dan pelaksana keputusan
politik. Kegiatan yang berhasil maupun yang gagal mempengaruhi pemerintah
termasuk dalam konsep partisipasi politik. Kegiatan mempengaruhi pemerintah
dapat di lakukan secara langsung ataupun secara tidak langsung. Kegiatan yang
langsung berarti individu mempengaruhi pemerintah tanpa menggunakan perantara,
sedangkan secara tidak langsung berarti mempengaruhi pemerintah melalui pihak
lain yang di anggap dapat meyakinkan pemerintah. Keduanya termasuk dalam kategori partisipasi
politik. Kegiatan mempengaruhi pemerintah dapat dilakukan melalui prosedur yang
wajar (konvensional) dan tak berupa kekerasan (non violence) seperti ikut
memilih dalam pemilihan umum atau pilkada, mengajukan petisi, melakukan kontak
tatap muka dan menulis surat, maupun dengan cara-cara di luar prosedur yang
yang wajar (tak konvensional) dan berupa kekerasan (violence), seperti
demonstrasi (unjuk rasa), masyarakat ini pembangkangan halus (seperti lebih
memilih kotak kosong daripada memilih calon yang di sodorkan pemerintah),
huru-hara, mogok, pembangkangan sipil, serangan bersenjata, dan gerakan-gerakan
politik seperti kudeta dan revolusi.
masyarakat –dalam kedudukan mereka sebagai
pengambil keputusan politik tidak dapat dinamakan partisipasi politik. Kegiatan
itu hanya dapat disebut sebagai kegiatan politik saja. Jadi partisipasi politik mengandung adanya sasaran
yang dituju, yaitu proses pembuatan keputusan politik: partisipan bertujuan
untuk mempengaruhi keputusan politik yang akan di ambil agar keputusan itu
menguntungkannya atau, paling tidak, tidak merugikannya.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Mengapa golput terjadi dalam Pilkada DKI
201
Hal ini dibuktikan dari Lembaga
Survei Indonesia pada
tahun 2012 yang menyatakan bahwa
angka golput berada
di kisaran 37%.
Presentase tersebut meningkat 2%
dibandingkan pilkada sebelumnya (Angka Pemilih Golput Hampir 40%, 2012).
Wilayah yang paling tinggi angka golputnya adalah Jakarta Timur dengan total pemilih 1.996.745 orang,
718.225 orang tidak
menggunakan hak pilihnya. Jumlah
penduduk yang tidak
memilih di Jakarta
Utara berjumla 461.518 dari daftar pemilih tetap yang berjumlah 1.162.153
penduduk. Kedua daerah tersebut
merupakan daerah dengan jumlah golput sendiri (Angka pemilih golput hampir 40%,
2012). Walau belum ditentukan apa penyebabnya, namun fenomena golput ini dapat
disebabkan karena banyak hal, seperti, liburan, sakit, KTP ganda (Angka pemilih
golput hampir 40%, 2012) dan dapat juga disebabkan oleh kesalah teknis
administrasi antar departemen seperti proses pendaftaran yang berantakan,
pemanipulasian data pemilih, dll. (Subanda, 2009).
Hal
lain yang dapat mendukung terjadinya golput adalah ketidak mauan masyarakat
untuk terlibat dalam politik. Sebagian besar masyarakat hanya memikirkan
bagaimana untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka tanpa memikirkan apa yang terjadi pada sistem politik,
padahal, sistem politik juga berpengaruh kepada sistem ekonomi bangsa. Golput
juga dinilai sebagai ideologi atau hak azasi dengan alasan masyarakat
kapok karena parpol
yang ada dianggap
tidak berkompetensi dan
melanggar janji yang telah
dijanjikan (Subanda, 2009).
Bagaimanapun, sebagai warga Negara yang baik seharusnya kita
menggunakan kesempatan ini dengan sebaik- baiknya. Karena kesempatan ini berguna
untuk membangun Negara kita agar lebih baik lagi dan dengan adanya
informasi yang telah
disampaikan melalui kampanye yang telah
dilakukan oleh para kandidat. Pemilu merupakan sarana dimana kita
sebagai warga dapat
memiliki kemampuan untuk
merubah dan memiliki rasa
kewargaan.
Golput
merupakan salah satu sifat apatis terhadap politik karena tidak memberikan
suara dalam pemilihan merupakan salah satu ketidak terlibatan individu dalam
kegiatan politik negaranya sendiri.
Apatis adalah sifat ketidak acuhan dimana individu kehilangan minat atau ketertarikan terhadap beberapa
aspek emosional, social
dan bahkan fisikal.
Individu dapat dikatakan
apatis apabila ia memiliki kurangnya
kesadaran, kepedulian, dan
tidak adanya rasa tanggung jawab. Sehingga itu individu
cenderung melakukan golput apabila mereka sudah bersifat apatis terhadap
politik.
3.2 Bagaimana Pandangan Mahasiswa
Terhadap Golput?
Sifat
apatisme ini lebih sering ditemukan di kalangan remaja dibandingkan di kalangan
orang dewasa. Di dalam penelitiannya, dalam penelitiannya mengenai
apatisme politik pada
anak muda di
Spanyol, Garcia-Albacete (2006) mengatakan bahwa anak muda memiliki tingkat
ketidakpercayaan yang tinggi
terhadap sistem pemerintahan yang ada. Mereka juga kurang tertarik
terhadap politik dan pengetahuan mengenai politik juga kurang sehingga mereka
enggan mencari tahu mengenai
informasi politik dan
berpartisipasi dalam pemilihan. Selain itu, anak muda merasa
kesulitan untuk masuk dan berpartisipasi
dalam dunia politik bila dihubungkan
dengan gaya hidup yang modern dan pekerjaan mereka. Anak
muda lebih tertarik
kepada aksi politik
yang lebih modern, contohnya, menjadi
aktivis isu-isu social,
seperti larangan penebangan
pohon secara liar, perlindungan hewan yang hampir punah, dll
Disamping sifat
apatisme yang dialami
oleh anak muda,
keberadaan merekapun kurang dilibatkan oleh pihak politisi itu sendiri
karena mereka merasa bahwa anak muda masih belum memiliki pandangan yang stabil untuk perduli terhadap politik
(Quinteller, 2007).
Dewasa
kini, mahasiswa semakin apatis terhadap isu politik yang terjadi saat ini.
Salah satu contohnya adalah ketidak terlibatannya mahasiswa dalam pemilu.
Seperti yang telah dihimbau oleh ketua KPU Husni Kamil Malik agar mahasiswa
menekan angka golput untuk pemilu tahun 2014. Karena menurutnya, mahasiswa
yang berjumlah 4.273.000
merupakan jumlah yang
sangat besar dan
cukup dahsyat untuk melakukan perubahan sosial di tengah-tengah
masyarakat (Tekan angka golput tinggi,
KPU minta mahasiswa
aktif pemilu, 2013).
Selain itu, menurut Dr. Muhammad
Uhaib As’ad, mahasiswa cenderung bersikap apatis dan apolitis dalam pemilu
tahun 2009 dalam penjelasannya di Seminar Nasional "Polemik Golput di Era
Demokrasi Dalam Perspektif Islam". Beliau juga mengemukakan bahwa fatwa
MUI mengenai bahwa golput itu haram tidak berpengaruh dalam menekan angka
golput, terutama pada mahasiswa karena mahasiswa sudah tidak percaya lagi
erhadap partai politik yang ada (Mahasiswa cenderung golput dalam pemilu 2009,
2009).
3.3 Apakah penyebab menurunya partisipasi politik
masyarakat Jakarta dalam pilkada putaran pertama dan adakah faktor yang
mempengaruhinya?
Banyak hal-hal yang menjadi penyebab mengapa
warga negara tidak ikut serta dalam partisipasi politik. Jika partisipasi
politik adalah adalah tindakan sukarela, yang berarti bahwa para pesertanya
tidak di paksa untuk melakukan nya dan tidak di bayar, saat ini masih saja di
temukan kegiatan politik seperti kampanya yang oleh kandidat masih menggunakan
cara money politic. Kegiatan
perpolitikan di Indonesia masih tidak bisa di jauhkan oleh kegiatan money politic. Masyarakat belum bisa
memilih secara rasional dan cerdas sehingga mudah tergiur oleh uang. Faktor
yang menjadi pengaruh terhadap tinggi-rendah nya tingkat partisipasi politik di
antara nya adalah kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah (sistem
politik).
Golput
karena masalah teknis, di karenakan Daftar Pemilih Tetap (DPT) karena kesalahan
oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang amburadul dalam pendataan
calon-calon pemilih menyebabkan masyarakat tidak terdaftar dalam DPT ini.
Permasalah DPT ini sudah merupakan permasalahan yang lazim terjadi di tiap-tiap
momentum politik seperti ini. Permasalahan ini seakan-akan tidak mempunyai
solusi, tentu ini sangat berakibat pada rendahnya partisipasi pemilih.
Partisipasi
juga di pengaruhi oleh kepentingan individual itu sendiri. Banyak pemilih yang
sudah terdaftar tetapi tidak hadir di hari pilkada tersebut karena kepentingan
individu yang di anggap lebih penting. Misalnya dalam hal ekonomi, biasanya
yang mendahulukan kepentingan individu terlebih dahulu ini adalah golongan
rakyat kecil yang bekerja oada sektor informal, dimana penghasilan nya sangat
bergantung pada tingkat intensitas ia bekerja. Oleh karena itu masyarakat
golongan seperti ini akan merasa rugi jika meninggalkan pekerjaan mereka.
Misalnya adalah pergi kerja ke pabrik bagi para buruh
Masyarakat
yang bersifat apatis. Mereka sadar mempunyai hak pilih, tetapi tidak
menggunakan hak pilih nya. Biasanya sikap apatis ini timbul karena pandangan
mereka yang meyakini bahwa para calon tidak mempunyai kesanggupan untuk
mewujudkan harapan mereka. Mereka tidak percaya dengan pemerintah dan calon yang ada. Mereka juga bingung terhadap
calon pemimpinnya, mereka belum mengetahui atau mengenali calon nya. Para calon
juga di nilai kurang memaparkan program-program nya dengan jelas.
Alasan
lainnya adalah ada nya rasa bosan masyarakat terhadap politik, mereka merasa
bosan terhdap janji-janji yang muluk dari para calon serta bosan karena sudah
seringnya momentum pilkada tetapi tidak memberikan perubahan sama sekali
terhadap daerahnya. Alasan ini biasanya di anut oleh golongan masyarakat yang
sudah tidak percaya lagi dengan sistem atau pemerintah nya.
Sikap
abstain atau tidak ikut berpartisipasi dalam proses politik pasti selalu
terjadi dalam proses demokrasi. Tetapi
jika sikap abstain ini di biarkan terus menerus tentulah akan berakibat besar
pada kemajuan demokrasi kita. Besarnya
tingkatan golput pada pilkada harus di sikapi secara arif. Kita juga tidak
boleh serta merta menyalahkan rakyat karena golput, karena siapa tahu saja
letak kesalahannya ada pada pemerintah itu sendiri.
Untuk
mengantisipasi tingginya angka golongan putih dalam pilkada kedua, Ketua Pokja Sosialisasi Pemungutan dan Penghitungan
Suara KPU Provinsi DKI Jakarta, Sumarno, mengingatkan pentingnya partisipasi aktif
masyarakat dalam Pilkada DKI Jakarta. Partisipasi aktif ini diwujudkan dengan
mendatangi TPS pada 20 September dan menggunakan hak suara dengan memilih
pasangan cagub dan cawagub yang diyakini mampu memimpin DKI Jakarta. Liburan
jangan di jadikan alasan untuk tidak datang ke TPS, justru liburan seharusnya
di jadikan kesempatan untuk masyarakat pergi ke TPS. Sumarno juga menjelaskan
negara Indonesia menganut sistem demokrasi yang sehingga peran masyarakat
sangat penting dalam mengawal berbagai kebijakan dan menentukan para
pemimpinnya. Pandangan berlibur lebih penting daripada memiliha dalah pemikiran
yang salah. Dalam pendidikan kewarganegaraan sudah di ketahui bahwa
pemerintahan Indonesia dalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Itu
berarti, jika kita ikut memilih, kita mewakilkan kedaulatan kita kepada orang
yang kita percayai. Partisipasi pemilih pemula, seperti anak-anak SMA, dalam
menentukan pemimpin DKI Jakarta pun dinilai sangat penting. Sumarno menilai
pemilih pemula ini bersikap kritis dan jumlahnya cukup signifikan. Kontribusi mereka akan memberikan hal
positif untuk pilkada kali ini. Untuk itu, Sumarno berharap para calon pemilih
tersebut tidak menjadi golput atau mengabaikan hak pilihnya.
BAB IV
KESIMPULAN
Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil
Gubernur Provinsi DKI Jakarta tahun 2012 ini bukan sekedar ajang artifisial
dalam mewujudkan kedaulatan rakyat. Pemilu Gubernur dan Wakil
Gubernur merupakan bagian yang sangat penting dari transformasi
politik menuju konsolidasi demokrasi Warga Jakarta, yang berujung pada
terbentuknya pemerintahan daerah yang representatif, efektif, dan pro-rakyat.
Oleh karena itu berkualitas atau tidaknya Pemilu Gubernur dan Wakil gubernur
sangat bergantung pada Warga Jakarta itu sendiri. Bila Warga Jakarta mempunyai
partisipasi kritis bukan saja pada Pemilu Gubernur dan Wakil gubernur, tetapi
pada setiap segi kehidupan berbangsa dan bernegara, maka kekuatan Warga Jakarta
ini akan mampu meningkatkan kualitas peradaban yang luhur ke arah peradaban
Indonesia yang lebih baik.
Partisipasi politik masyarakat di
Jakarta meliputi kegiatan kampanye dan pemberian suara. Bentuk partisipasi yang
paling dominan adalah voting, melalui pilkada. Tingginya tingkat penurunan
partisipasi politik masyarakat Jakarta dalam pilkada putaran pertama ini antara
lain di sebabkan oleh faktor masalah teknis, kepentingan individu (misal dalam
hal ekonomi), sifat apatisme masyarakat, rasa bosan terhadap politik dan alasan
tidak berada di tempat.
Bisa
di simpulkan juga bahwa pemberian suara (voting)
dimana tingginya penurunan tingkat partisipasi politik masyarakat Jakarta di
pengaruhi oleh tingkat pekerjaan. Masyarakat dengan status pekerjaan lebih
tinggi cenderung lebih tinggi tingkat partisipasinya dibandingkan masyarakat
dengan status pekerjaan yang lebih rendah. Sebagai contoh seorang buruh yang
bekerja di pabrik lebih mementingkan kegiatan ekonomi nya daripada ikut memilih
karena kalau ia meninggalkan pekerjaan nya, ia tidak mendapatkan upah.
DAFTAR PUSTAKA
Samuel
P Huntington dan Joan M. Nelson, No Easy Choice : Political Participation in
Developing Countries (Cambridge, Mass: Harvard University Press, 1977)