BAB I
PENDAHULUAN
           Moral berasal dari kata mos (mores) yang
sinonim dengan kesusilaan, tabiat atau kelakuan. Moral adalah ajaran tentang
hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia.
Seorang pribadi yang taat kepada aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma yang
berlaku dalam masyarakatnya, dianggap sesuai dan bertindak benar secara moral. 
Helden (1977) dan Richard (1971) merumuskan pengertian moral sebagai kepekaan dalam pikiran, perasaan, dan tindakan dibandingkan dengan tindakan lain yang tidak hanya berupa kepekaan terhadap prinsip dan aturan. Selanjutnya, Atkinson (1969)mengemukakan moral atau moralitas merupakan pandangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan. Selain itu, moral juga merupakan seperangkat keyakinan dalam suatu masyarakat berkenaan dengan karakter atau kelakuan dan apa yang seharusnya dilakukan manusia.
Moralitas mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan moral, tetapi kata moralitas mengandung makna segala hal yang berkaitan dengan moral. Moralitas adalah system nilai tentang bagaimana seseorang seharusnya hidup secara baik sebagai manusia. Moralitas ini terkandung dalam aturan hidup bermasyarakat dalam bentuk petuah, wejangan, nasihat, peraturan, perintah, dan semacamnya yang diwariskan secara turun-temurun melalui agama atau kebudayaan tertentu. Jika sebaliknya yang terjadi maka pribadi itu dianggap tidak bermoral. Moral dalam perwujudannya dapat berupa peraturan dan atau prinsip-prinsip yang benar, baik terpuji dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma yang mengikat kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
Helden (1977) dan Richard (1971) merumuskan pengertian moral sebagai kepekaan dalam pikiran, perasaan, dan tindakan dibandingkan dengan tindakan lain yang tidak hanya berupa kepekaan terhadap prinsip dan aturan. Selanjutnya, Atkinson (1969)mengemukakan moral atau moralitas merupakan pandangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan. Selain itu, moral juga merupakan seperangkat keyakinan dalam suatu masyarakat berkenaan dengan karakter atau kelakuan dan apa yang seharusnya dilakukan manusia.
Moralitas mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan moral, tetapi kata moralitas mengandung makna segala hal yang berkaitan dengan moral. Moralitas adalah system nilai tentang bagaimana seseorang seharusnya hidup secara baik sebagai manusia. Moralitas ini terkandung dalam aturan hidup bermasyarakat dalam bentuk petuah, wejangan, nasihat, peraturan, perintah, dan semacamnya yang diwariskan secara turun-temurun melalui agama atau kebudayaan tertentu. Jika sebaliknya yang terjadi maka pribadi itu dianggap tidak bermoral. Moral dalam perwujudannya dapat berupa peraturan dan atau prinsip-prinsip yang benar, baik terpuji dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma yang mengikat kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
                                                                         BAB II
                                                                       PEMBAHASAN
2.1 Defenisi Moral
Kata moral berasal
dari bahasa latin Mores. Mores berasal dari kata mos yang berarti
kesusilaan, tabiat atau kelakuan. Moral
dengan demikian dapat diartikan ajaran kesusilaan. Moralitas berarti hal mengenai kesusilaan.
Moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana kita harus hidup secara
baik sebagai manusia. Sistem nilai ini
terkandung dalam ajaran berbentuk petuah- petuah, nasihat, wejangan, peraturan, dan semacamnya, yang diwariskan
secara
turun-temurun melalui agama atau kebudayaan
tertentu tentang bagaimana
manusia harus hidup secara baik, agar ia benar-benar menjadi manusia yang baik.
Moralitas
 juga  memberi  manusia aturan atau 
petunjuk  konkret  tentang
bagaimana ia harus bertindak dalam
hidup ini sebagai manusia yang baik
dan bagaimana menghindari perilaku-perilaku yang tidak baik.
Ada perkataan lain yang mengungkapkan
kesusilaan yaitu etika. Perkataan etika berasal dari bahasa yunani: ethos dan ethikos yang berarti kesusilaan,
perasaan batin, kecenderungan untuk melakukan suatu perbuatan.
Dalam
 Kamus
 Umum  Bahasa  Indonesia  dari  W.J.S  Poerwadarminto (dalam Salam 2000:2), terdapat keterangan bahwa moral adalah ajaran tentang
baik-buruk perbuatan dan
kelakuan, sedangkan etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas
akhlak (moral).
Dari beberapa keterangan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa moral
mempunyai
 pengertian
 yang  sama
 dengan  kesusilaan,  yaitu  memuat  ajaran
tentang baik buruknya perbuatan. Jadi, perbuatan itu dinilai sebagai perbuatan
yang baik atau
perbuatan yang buruk. Penilaian
itu menyangkut perbuatan yang dilakukan dengan sengaja. Memberikan penilaian
atas perbuatan dapat disebut memberikan penilaian etis
atau moral.
Sasaran dari
moral
adalah
keselarasan dari perbuatan manusia dengan
aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan manusia itu.
2.2  Prinsip- Prinsip Dasar Moral
2.2.1    Prinsip Sikap Baik
Sikap yang dituntut dari
kita sebagai dasar dalam hubungan dengan siapa saja
 adalah
 sikap  positif
 dan  baik.
 Seperti  halnya
 dalam  prinsip
 utilitarisme,
bahwa kita harus mengusahakan
akibat-akibat baik
sebanyak mungkin dan
mengusahakan   untuk   sedapat-dapatnya   mencegah  
akibat-akibat   buruk   dari
tindakan  kita,
 kecuali  ada
 alasan  khusus,  tentunya  kita
 harus  bersikap
 baik
terhadap orang lain.
Prinsip moral
dasar pertama disebut prinsip sikap baik. Prinsip ini mendahului dan mendasari
semua prinsip moral lain. Prinsip ini mempunyai
arti yang amat besar bagi kehidupan manusia.
Sebagai
prinsip dasar etika, prinsip sikap baik menyangkut sikap dasar
manusia yang harus memahami segala sifat konkret, tindakan dan
kelakuannya. Prinsip  ini mengatakan bahwa pada dasarnya, kecuali ada alasan khusus, kita
harus mendekati siapa saja dan apa saja dengan positif, dengan menghendaki yang baik  bagi dia.
 Artinya,
 bukan  semata-mata perbuatan  baik  dalam arti sempit,
melainkan sikap hati
positif terhadap orang lain, kemauan baik terhadapnya. Bersikap
 baik  berarti,
 memandang
 seseorang
 dan  sesuatu
 tidak
 hanya  sejauh
berguna   bagi  dirinya,   melainkan   menghendaki,   menyetujui,   membenarkan, mendukung, membela, membiarkan, dan menunjang perkembangannya (Suseno,
1989:131).
Bagaimana sifat baik itu harus
dinyatakan secara konkret, tergantung pada
apa
yang baik dalam situasi
konkret itu. Maka prinsip ini menuntut suatu pengetahuan tepat tentang realitas, supaya dapat diketahui apa yang masing- masing baik bagi yang bersangkutan.
Prinsip sikap baik mendasari
semua norma moral, karena hanya atas dasar prinsip itu, maka akan masuk akal bahwa kita harus
bersikap adil, atau jujur, atau setia kepada orang lain.
2.2.2    Prinsip Keadilan
Prinsip kebaikan hanya menegaskan agar kita bersikap baik terhadap siapa
saja. Tetapi kemampuan manusia untuk bersikap baik secara hakiki terbatas, tidak hanya berlaku bagi benda-benda materiil, melainkan juga dalam hal perhatian dan
cinta kasih. Kemampuan untuk memberi hati kita juga terbatas. Maka secara logis
dibutuhkan prinsip  tambahan  yang  menentukan bagaimana kebaikan  itu  harus dibagi. Prinsip itu adalah prinsip keadilan.
Adil pada hakikinya berarti bahwa kita memberikan kepada siapa saja apa
yang  menjadi
 haknya.  Karena  pada
 hakekatnya  semua  orang  sama
 nilainya
sebagai manusia, maka tuntutan
paling dasariah keadilan
adalah
perlakuan yang sama terhadap semua orang, tentu dalam situasi yang sama (Suseno,1989:132).
Jadi prinsip keadilan mengungkapkan
kewajiban untuk memberikan
perlakuan yang sama
terhadap semua
orang lain yang berada
dalam situasi yang sama dan untuk menghormati hak semua pihak yang bersangkutan.
Secara singkat, keadilan menuntut agar kita jangan mau mencapai
tujuan- tujuan, termasuk hal yang baik, dengan melanggar hak seseorang.
2.2.3    Prinsip Hormat Terhadap Diri Sendiri
Prinsip ini menyatakan bahwa manusia
wajib untuk selalu memperlakukan diri
sebagai sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Prinsip ini berdasarkan paham bahwa manusia adalah person, pusat berpengertian dan berkehendak, yang
memiliki
 kebebasan  dan   suara   hati,   mahluk   yang   berakal   budi  (Suseno,
1989:133).
Prinsip ini mempunyai
dua
arah. Pertama, dituntut agar kita tidak
membiarkan diri  diperas,  diperalat,  atau
 diperbudak.
 Perlakuan  tersebut  tidak wajar untuk kedua belah pihak, maka yang diperlakukan demikian jangan
membiarkannya berlangsung  begitu saja apabila
 ia dapat
 melawan, sebab kita mempunyai harga diri. Dipaksa untuk melakukan atau menyerahkan
sesuatu tidak
pernah wajar. Kedua, kita jangan sampai membiarkan diri terlantar.
Manusia  juga
 mempunyai  kewajiban  terhadap
 dirinya  sendiri,
 berarti
bahwa kewajibannya terhadap orang lain diimbangi oleh perhatian yang wajar
terhadap dirinya sendiri.
Sebagai
kesimpulan, kebaikan
dan keadilan yang kita tunjukkan
kepada orang  lain,
 perlu  diimbangi dengan  sikap
 yang  menghormati diri kita sendiri
sebagai mahluk yang bernilai pada dirinya sendiri. Kita mau berbaik kepada orang lain dan bertekad untuk bersikap adil, tetapi tidak dengan membuang diri.
2.3 Sikap-Sikap Kepribadian Moral
2.3.1    Kejujuran
Dasar
 setiap  usaha
 untuk  menjadi  orang  kuat
 secara  moral  adalah
kejujuran. Tanpa kejujuran kita sebagai manusia tidak dapat  maju karena kita
belum berani menjadi diri kita sendiri. Tidak jujur berarti tidak seia sekata dan itu berarti bahwa kita belum sanggup
untuk mengambil sikap lurus. Orang yang tidak lurus, tidak mengambil
dirinya sendiri sebagai titik tolak, melainkan apa yang diperkirakan diharapkan oleh orang lain.
Tanpa kejujuran,  keutamaan-keutamaan  moral  lainnya  akan kehilangan nilai.        Bersikap           baik           terhadap             orang   lain,    tetapi 
 tanpa   kejujuran   adalah
kemunafikan.
Menurut Suseno (2010:142-143), bersikap jujur terhadap
orang lain berarti dua:
Pertama, sikap terbuka, kedua sikap fair. Dengan
terbuka, tidak
dimaksud bahwa segala pertanyaan
orang lain harus kita jawab
dengan selengkapnya, atau bahwa orang  lain
 berhak  untuk  mengetahui segala perasaan dan pikiran kita.
Melainkan
 yang  dimaksud  ialah  bahwa  kita
 selalu  muncul
 sebagai  diri  kita
sendiri, sesuai dengan kenyakinan kita. Kita tidak menyesuaikan kepribadian kita dengan harapan orang lain.
Kedua, terhadap orang lain orang jujur bersikap
wajar atau fair, ia
memperlakukannya menurut standart-standart yang diharapkannya dipergunakan orang  lain
 terhadap  dirinya.
 Ia  menghormati  hak
 orang
 lain,
 ia  selalu
 akan
memenuhi  janji yang  diberikan,  juga terhadap  orang
 yang  tidak 
dalam posisi untuk menuntutnya. Ia tidak pernah akan bertindak bertentangan dengan suara hati
atau  kenyakinannya.  Tetapi  hanya  dapat
 bersikap  jujur
 terhadap
 orang
 lain, apabila kita jujur terhadap diri kita sendiri.
2.3.2    Nilai-Nilai Otentik
Otentik
 berarti,  kita
 menjadi  diri  kita
 sendiri.  “Otentik”  berarti  asli. Manusia otentik adalah manusia yang menghayati
dan
menunjukkan diri sesuai
dengan keasliannya, dengan kepribadian yang sebenarnya.
2.3.3    Kesediaan Untuk Bertanggung Jawab
Kejujuran sebagai
kualitas dasar kepribadian moral menjadi dasar dalam
kesediaan untuk bertanggung jawab. Bertanggung jawab berarti suatu sikap terhadap tugas yang membebani kita, kita merasa terikat untuk menyelesaikannya.
Kita akan melaksanakannya dengan
sebaik mungkin, meskipun
dituntut pengorbanan atau kurang menguntungkan atau ditentang oleh orang lain. Tugas itu bukan sekedar masalah dimana kita berusaha untuk menyelamatkan
diri tanpa
menimbulkan
kesan yang buruk, melainkan tugas itu kita rasakan sebagai sesuatu yang mulai sekarang harus
kita pelihara, kita selesaikan dengan baik.
Merasa bertanggung jawab berarti bahwa meskipun orang lain tidak
melihat, kita tidak merasa puas
sampai pekerjaan itu diselesaikan sampai tuntas.
Wawasan orang yang bersedia untuk bertanggug jawab secara prinsipial
tidak terbatas. Ia tidak membatasi perhatiannya pada apa yang menjadi urusan dan
kewajibannya, melainkan merasa bertanggung jawab di mana saja ia diperlukan.
Ia bersedia untuk mengarahkan tenaga dan kemampuan ketika ia ditantang untuk menyelamatkan sesuatu. Ia bersikap positif, kreatif, kritis dan objektif (Suseno,
2010:146).
Dan lagi, kesediaan
untuk bertanggung jawab
termasuk kesediaan
untuk diminta   dan   untuk           memberikan,   mempertanggungjawabkan   atas   tindakan- tindakannya, atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya. Kalau ia ternyata lalai
atau melakukan kesalahan, ia bersedia untuk dipersalahkan. Ia
tidak pernah akan
melempar tanggung jawab
atas suatu kesalahan yang diperbuatnya kepada orang lain.           Sebaliknya,     ia    bersedia    untuk    mengaku    bertanggung    jawab    atas kesalahannya.
Kesediaan untuk bertanggung jawab
demikian adalah tanda kekuatan batin
yang sudah mantap.
2.3.4  Kemandirian Moral
Jika kita ingin mencapai
kepribadian moral yang kuat, maka kita harus memiliki sikap kemandirian moral.
Kemandirian moral berarti bahwa kita tidak pernah ikut-ikutan saja dengan
berbagai pandangan moral lingkungan kita, melainkan selalu membentuk penilaiaan dan pendirian sendiri dan bertindak sesuai dengannya. Kita tidak sekedar meniru apa yang biasa.
Menurut
 Suseno
 (2010:147),
 kemandirian  moral  adalah kekuatan  batin untuk  mengambil  sikap  moral sendiri dan  untuk
 bertindak  sesuai  dengannya. Mandiri secara moral berarti bahwa kita tidak dapat dibeli oleh mayoritas, bahwa
kita
 tidak  akan  pernah  rukun  hanya
 demi  kebersamaan  kalau
 kerukunan  itu melanggar keadilan.
Sikap mandiri pada hakikatnya merupakan
kemampuan
untuk selalu membentuk penilaian sendiri terhadap suatu masalah moral.
2.3.5    Keberaniaan Moral
Keberaniaan    moral     menunjukkan     diri    dalam    tekad    untuk    tetap mempertahankan sikap yang telah dinyakini sebagai
kewajiban, sekalipun tidak disetujui
atau secara aktif dilawan
oleh lingkungan. Orang yang memiliki
keutamaan itu tidak mundur dari tugas dan tanggung jawab juga kalau ia mengisolasikan diri, dibuat merasa malau, dicela, ditentang atau diancam
oleh banyak orang, oleh orang-orang yang kuat yang memiliki kedudukan dan juga
oleh mereka yang penilaiannya disegani.
Keberaniaan moral
adalah
kesetiaan terhadap suara hati yang menyatakan diri dalam kesediaan untuk mengambil resiko konflik (Suseno, 2010:147).
Keberanian moral berarti berpihak
pada yang lebih lemah melawan
yang kuat, yang memperlakukannya dengan tidak adil. Orang yang berani
secara moral
akan
membuat pengalaman yang menarik. Setiap kali
ia
berani mempertahankan
sikap yang dinyakini, ia merasa lebih kuat dan berani dalam hatinya , dalam arti ia semakin dapat mengatasi perasaan takut dan malu.
Moral
keberanian akan membuat kita merasa lebih mandiri. Yang memberikan semangat dan kekuatan berpijak bagi mereka yang lemah.
2.3.6    Kerendahan Hati
Keutamaan terakhir  yang
 hakiki  bagi  kepribadian  yang
 mantap  adalah
kerendahan  hati.  Kerendahan  hati tidak
 berarti bahwa
 kita  merendahkan  diri,
melainkan bahwa kita melihat diri seada kita. Kerendahan hati adalah kekuatan batin
untuk melihat diri
sesuai dengan
kenyataannya (Suseno, 2010:148). Orang yang rendah hati tidak hanya melihat kelemahannya melainkan juga kekuatannya.
Dalam bidang moral kerendahan hati
tidak hanya berarti bahwa kita sadar akan keterbatasan
kebaikan kita, melainkan juga bahwa kemampuan
kita untuk memberikan  penilaian
 moral  terbatas.  Dengan
 rendah
 hati,  kita
 betul-betul
bersedia untuk memperhatikan dan menanggapi setiap pendapat lawan, bahkan
untuk seperlunya mengubah pendapat kita sendiri.
Kerendahan hati tidak bertentangan dengan keberanian moral. Tanpa kerendahan hati keberanian moral mudah menjadi kesombongan, bahwa kita tidak rela untuk memperhatikan orang lain, atau bahkan
 kita sebenarnya takut dan tidak berani untuk membuka diri.
Orang yang rendah hati sering menunjukkan daya tahan yang paling besar
apabila  betul-betul harus diberikan perlawanan.
 Orang  yang rendah hati tidak merasa diri penting dan
karena itu berani untuk mempertaruhkan diri apabila ia sudah menyakini sikapnya sebagai tanggung jawabnya.
 BAB III
3.1       KESIMPULAN
  Memiliki prinsip moral bagi setiap
orang adalah suatu kewajiban karena disaat seseorang telah memiliki prinsip
moral yang kuat maka pribadi orang tersebut juga akan sama kuatnya. Orang tersebut
pasti akan dengan mudah menjalin hubungan sosial dengan lingkungan
disekitarnya. Karena orang tersebut dapat menghormati dirinya sendiri,
menghormati orang lain, menghargai pendapat, dan saling bantu membantu dengan
orang-orang disekelilingnya. Maka itu pentingnya prinsip moral untuk membangun
pribadi yang kuat sangatlah dibutuhkan oleh setiap manusia agar dirinya tidak
mudah terbawa oleh pengaruh buruk dari dalam maupun luar masyarakat lainnya.
3.2       REFERENSI
Diunduh pada tanggal 24 Juli 2014
Diunduh Pada Tanggal 24 Juli 2014
Diunduh Pada Tanggal 24 Juli 2014
 
